FAKTOR PERUBAHAN SOSIAL

  

   
    A.  FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan tidak datang dengan sendirinya, tetapi terjadi melalui interaksi sosial harian dan bila dikaitkan dengan pemikiran Dahrendorf, maka unsur dominasi menjadi salah satu penyebab terjadinya perubahan. Ada begitu banyak faktor pemicu adanya perubahan sosial, namun yang paling umum terjadi adalah karena bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri atau faktor internal dan yang bersumber dari luar masyarakat atau faktor eksternal. Begitu juga dengan siapa yang menjadi aktor dibalik munculnya suatu perubahan sosial. Dalam bahasan umum sumber perubahan sosial seringkali didasarkan pada dua sumber pokok, yakni internal (dalam) dan external (luar).
Adapun sebab-sebab terjadinya perubahan sosial dari faktor internal menurut (Donatus Patty,2005)  antara lain:
1.      Penduduk, perubahan jumlah penduduk seperti bertambahnya jumlah penduduk karena transmigrasi dapat mengakibatkan perubahan-perubahan pada struktur masyarakat terutama mengenai lembaga-lembaga kemasyarakatan. Kehadiran transmigrasi dapat berdampak positif dan menguntungkan jika mereka memiliki keterampilan kerja.
2.      Pertentangan/konflik, selama manusia hidup berkelompok, selama itu pula terdapat pertentangan. Pertentangan merupakan bagian dari interaksi sosial, karena itu pertentangan tidak mungkin dihilangkan tetapi dapat diatasi. Ketika sumber pemenuhan kebutuhan semakin terbatas, akan menimbulkan persaingan dan pada akhirnya mengakibatkan konflik. Ketika terjadi konflik, dalam masyarakat muncul kekecewaan dan keresahan sosial, maka pada saat itu individu-individu sangat mudah terpengaruh dengan hal-hal yang baru.
3.      Penemuan baru, penemuan baru dalam kebudayaan dapat berpengaruh pada berbagai sektor kehidupan lainnya. Pengaruh-pengaruh tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi bidang-bidang kehidupan yang satu dengan lainnya. Contohnya penemuan listrik mengakibatkan penemuan radio, televisi dan komputer yang akhirnya dapat mempengaruhi adat istiadat, pendidikan, ekonomi dan pola perilaku masyarakat.

Adapun perubahan sosial terjadi karena adanya faktor eksternal atau faktor-faktor yang bersumber dari luar masyarakat itu sendiri menurut (Donatus Patty,2005) antara lain:
1.      Lingkungan alam, lingkungan alam turut mempengaruhi keadaan sosial, kebudayaan serta perilaku masyarakat yang hidup di sekitarnya. Lingkungan alam yang berbeda-beda berdampak pada mata pencaharian masyarakat yang berbeda-beda pula. Masyarakat yang tinggal di pedesaan kehidupan sosialnya berbeda dengan masyarakat perkotaan.
2.      Peperangan, peperangan antar dua negara atau lebih menyebabkan adanya perubahan, di mana pihak yang kalah akan dipaksa untuk mengikuti semua keinginan pihak yang menang, termasuk dalam hal ekonomi, kebudayaan dan pola perilaku.
3.      Pengaruh kebudayaan lain, masuknya kebudayaan asing yang diterima dan diterapkan berdampak pada kehidupan sosial yang mengakibatkan terjadinya perubahan sistem sosial. Akibat globalisasi informasi, transparasi dan ekonomi, pengaruh budaya asing merubah keseluruhan tatanan hidup dan pola perikelakuan masyarakat, seperti pola konsumsi dan gaya hidup.

   B. FAKTOR PENDORONG PEPRUBAHAN SOSIAL
Proses perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara cepat atau lancar, dan dapat pula berlangsung secara tidak cepat atau tidak lancar, misalnya saja dengan cara yang lambat atau tersendat-sendat. Adapun secara umum, faktor-faktor yang diperkirakan dapat mendorong (memperlancar/mempercepat) bagi jalannya proses perubahan sosial itu antara lain:
1.      Adanya kontak dengan kebudayaan masyarakat lain.
Salah satu proses yang menyangkut hal ini adalah misalnya diffusion. Difusi adalah suatu proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari seseorang kepada orang lain, dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Dengan terjadinya difusi, suatu penemuan baru yang telah diterima oleh masyarakat misalnya, dapat diteruskan dan disebarluaskan pada masyarakat lain, sampai masyarakat tersebut dapat menikmati kegunaan dari hasil-hasil peradaban bagi kemajuan manusia. Maka proses semacam itu merupakan pendorong bagi pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya kebudayaan-kebudayaan umat manusia.
Difusi antar masyarakat dipengaruhi oleh:
a.       Adanya kontak antara antara masyarakat-masyarakat tersebut
b.      Ada tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang menyaingi unsurunsur penemuan.
c.       Kemampuan untuk mendemonstrasikan manfaat-manfaat penemuan baru.
d.      Peranan masyarakat yang menyebarkan penemuan baru.
e.       Paksaan untuk menerima penemuan baru.
f.       Pengakuan akan kegunaan penemuan baru.
Difusi memperkaya dan menambah unsur-unsur kebudayaan, yang memerlukan perubahan-perubahan sosial dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan.
2.      Adanya sikap terbuka terhadap karya serta keinginan orang lain untuk maju
    Sikap menghargai karya orang lain dan keinginan-keinginan untuk maju merupakan salah satu pendorong bagi jalannya perubahan-perubahan. Apabila sikap tersebut telah melembaga, maka masyarakat akan memberikan pendorong bagi usaha-usaha untuk mengadakan penemuanpenemuan baru. Pemberian hadiah nobel dan yang sejenisnya misalnya, merupakan pendorong bagi individu-individu maupun kelompok-kelompok lainnya untuk menciptakan karya-karya yang baru lagi.

3.      Adanya Sistem pendidikan formal yang maju.
Sistem pendidikan yang baik yang didukung oleh kurikulum adaptif maupun fleksibel misalnya, akan mampu mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial budaya. Pendidikan formal, misalnya di sekolah, mengajarkan kepada anak didik berbagai macam pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh para siswa. Di samping itu, pendidikan juga memberikan suatu nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikirannya serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara ilmiah. Namun jika dikelola secara baik dan maju, pendidikan bukan hanya sekedar dapat mengajarkan pengetahuan, kemampuan ilmiah, skill, serta nilai-nilai tertentu yang dibutuhkan siswa, namun lebih dari itu juga mendidik anak agar dapat berpikir secara obyektif. Dengan kemampuan penalaran seperti itu, pendidikan formal akan dapat membekali siswa kemampuan menilai apakah kebudayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan jamannya atau tidak. Nah, di sinilah kira-kira peranan atau faktor pendorong bagi pendidikan formal yang maju untuk berlangsungnya perubahanperubahan dalam masyarakat.
4.      Sikap berorientasi ke masa depan.
Adanya prinsip bahwa setiap manusia harus berorientasi ke masa depan, menjadikan manusia tersebut selalu berjiwa (bersikap) optimistis. Perasaan dan sikap optimistis, adalah sikap dan perasaan yang selalu percaya akan diperolehnya hasil yang lebih baik, atau mengharapkan adanya hari esok yang lebih baik dari hari sekarang. Sementara jika di kalangan masyarakat telah tertanam jiwa dan sikap optimistis semacam itu maka akan menjadikan masyarakat tersebut selalu bersikap ingin maju, berhasil, lebih baik, dan lain-lain. Adanya jiwa dan sikap optimistik, serta keinginan yang kuat untuk maju itupula sehingga proses-proses perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakat itu dapat tetap berlangsung.
5.      Sistem lapisan masyarakat yang bersifat terbuka (open stratification).
Sistem stratifikasi sosial yang terbuka memungkinkan adanya gerak vertikal yang luas yang berarti memberi kesempatan bagi individu-individu untuk maju berdasar kemampuannya. Dalam keadaan demikian, seseorang mungkin akan mengadakan identifikasi dengan warga-warga yang mempunyai status yang lebih tinggi. Dengan demikian, seseorang merasa dirinya berkedudukan sama dengan orang atau golongan lain yang dianggapnya lebih tinggi dengan harapan agar mereka diperlakukan sama dengan golongan tersebut. Identifikasi terjadi di dalam hubungan superordinat-subordinat. Pada golongan yang lebih rendah kedudukannya, sering terdapat perasaan tidak puas terhadap kedudukan sosial yang dimilikinya. Keadaan tersebut dalam sosiologi dinamakan “status-anxiety”. “Status-anxiety” tersebut menyebabkan seseorang berusaha untuk menaikkan kedudukan sosialnya.
6.      Adanya komposisi penduduk yang heterogen.
Pada kelompok-kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang seperti kebudayaan, ras (etnik), bahasa, ideologi, status sosial, dan lain-lain, atau yang lebih populer dinamakan “masyarakat heterogen”, lebih mempermudah bagi terjadinya pertentangan-pertentangan ataupun kegoncangan-kegoncangan. Hal semacam ini juga merupakan salah satu pendorong bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat.
7.      Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.
Nasib manusia memang sudah ditentukan oleh Tuhan, namun adalah menjadi tugas dan kewajiban manusia untuk senantiasa berikhtiar dan berusaha guna memperbaiki taraf kehidupannya. Lagipula, menurut ajaran agama juga ditekankan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu umat (termasuk individu) selama umat (individu) tersebut tidak berusaha untuk mengubahnya. Dengan demikian tugas manusia adalah berusaha, lalu berdoa, sedangkan hasil akhir adalah Tuhan yang menentukannya. Adanya nilai-nilai hidup serta keyakinan yang semacam itu menyebabkan kehidupan manusia menjadi dinamik, dan adanya dinamisasi kehidupan inilah sehingga perubahan-perubahan sosial budaya dapat berlangsung.
8.      Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu.
Munculnya ketidakpuasan masyarakat terhadap bidangbidang kehidupan tertentu, misalnya adanya pelaksanaan pembangunan yang hanya menguntungkan golongan tertentu, pembagian hasil pembangunan yang tidak merata, semakin melebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, dan lain-lain, dapat menyebabkan terjadinya kekecewaan dalam masyarakat. Bahkan jika dibiarkan sampai berlarut-larut, hal semacam itu dapat mengakibatkan terjadinya demo ataupun protes-protes yang semakin meluas, atau bahkan kerusuhan-kerusuhan, dan revolusi. Dengan demikian adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu dapat mendorong bagi bergulirnya perubahanperubahan sosial budaya. 
9.      Toleransi
Masyarakat tidak kaku dalam menghadapi norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri, terutama norma yang tidak tertulis. Apabila terjadi suatu perilaku yang berbeda dalam suatu masyarakat, namun tidak keluar dari persoalan yang dapat mengarah pada aspekaspek negatif, seperti konflik sosial. Sikap tidak mempersoalkan perilaku tersebut merupakan bagian dari sikap toleransi terhadap orang lain. Contohnya, di perkotaan secara umum dihuni oleh warga yang sangat heterogen. Salah satu heterogenitasnya adalah dalam bahasa. Terkadang bahasa yang digunakan antara anggota masyarakat memiliki nilai yang berbeda. Satu pihak menilainya sebagai bahasa halus dan sopan, namun pihak lain menilai sebaliknya. Di sinilah sangat dibutuhkan sikap toleransi.
10.  Sistem Stratifikasi Sosial Terbuka.
Masyarakat yang memiliki stratifikasi (lapisan) sosial terbuka memungkinkan terjadinya mobilitas (perpindahan) sosial antarlapisan. Seseorang yang berada pada lapisan yang paling bawah dapat berpindah ke lapisan yang lebih atas apabila yang bersang kutan berusaha dan bekerja keras untuk mencapainya.
Selain sejumlah faktor-faktor di atas, terjadinya perubahan sosial dapat pula didorong atau dipercepat karena adanya faktor-faktor intern (dari mayarakat yang mengalami perubahan) seperti:
a.       Adanya sikap masyarakat yang selalu terbuka terhadap setiap perubahan.
b.      Berkembangnya pola pemikiran yang positif terhadap hal-hal yang baru.
c.       Adanya sikap masyarakat yang selalu menyukai sesuatu yang baru.
d.      Adanya pengalaman yang luas dari masyarakat yang bersangkutan.

Menurut teori struktural fungsional, Talcot Parson melahirkan teori struktural-fungsional tentang perubahan. Parson menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya seperti pertumbuhan pada makhluk hidup. Komponen utama pemikiran Parson adalah adanya proses diferensiasi. Ia berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya ataupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika berubah, masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa Parson termasuk dalam golongan orang yang memandang optimis sebuah proses perubahan. Perubahan sosial yang sifatnya struktural-fungsional dapat dirumuskan oleh pengaruh-pengaruh sebagai berikut :
1.      Pengaruh Politik
Pemikiran Coleman tidak berbeda jauh dengan pemikiran Smelser, yaitu melakukan pendekatan dengan diferensiasi, tetapi diferensiasi Coleman pada bidang politik sedangkan Smelser pada kajian sosiologis. Diferensiasi politik dari Coleman dimaksudkan bahwa politik saat ini lebih menuju sistem politik modern yang di dalamnya memiliki lembaga-lembaga politik yang satu sama lainnya yang saling berkaitan. Dari deferensiasi politik, Coleman pun mengakui efek samping berikut sebagai berikut:
a.       Ketegangan dan perpecahan dalam sistem politik.
b.      Krisis identitas nasional pada masa peralihan dari masyarakat primodal ke modern.
c.       Krisis legimitasi pemerintahan baru.
d.      Ketidakmampuan pemerintahan pusat melaksanakan secara efisien.
e.       Rendahya partisipasi politik.
f.       Krisis intergrasi dan koordinasi berbagai kelompok politik dominan.
g.      Krisis distribusi ketika negara tidak mampu mencapai pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasilnya sesuai dengan harapan masyarakat.
2.      Pengaruh Pendidikan
Pendidikan merupakan faktor yang menyebabkan perubahan sosial dibidang lain, diluar bidang ekonomi dan politik. Perubahan sosial dilihat dari pendekatan dalam pendidikan, bukan merupakan perubahan secara alamiah, melainkan memerlukan perencanaan, kemudian dilaksanakan dan pengevaluasian untuk melihat perubahan pendidikan yang terjadi dalam satu periode. Ada lima pendekatan perubahan yang dapat digunakan menilai keberhasilan perubahan sosial yang berkaitan dengan pendidikan yaitu sebagai berikut:
a.       Perubahan input yaitu orientasi masukan.
b.      Perubahan luaran atau perubahan jangka pendek.
c.       Perubahan outcomes yaitu perubahan atau luaran jangka menengah.
d.      Perubahan asas manfaat yaitu pendekatan benefit.
e.       Pendekatan perubahan jangka panjang yaitu seperti impact atau dampak.

3.      Perubahan Budaya
Kebudayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang pernah dihasilkan manusia yang berasal dari pemikirannya. Tiga wujud utama dari kebudayaan adalah sebagai berikut.
a.       Keseluruhan ide, gagasan, nilai, norma peraturan, dan ketentuan lainnya yang berperan mengarahkan kelakuan masyarakat yaitu adat dan kelakuan.
b.      Keseluruhan aktivitas kelakuan berpola dari manusia yang berlaku di masyarakat yang selanjutnya yang disebut sistem sosial.
c.       Keseluruhan karya manusia yang berbentuk fisik.
Perubahan sosial yang dialami oleh setiap masyarakat pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan perubahan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan sosial dapat meliputi semua segi kehidupan masyarakat. Perubahan sosial dapat meliputi semua segi kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dalam cara berifikir dan berintearksi, perubahan dalam sikap dan orientasi, perubahan dalam tata cara kerja, perubahan dalam kelembagaan, perubahan dalam tata cara dan alat-alat kegiatan yang semakin maju. Perubahan sosial budaya meliputi perubahan fungsi kebudayaan dan perilaku manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan lain.
4.      Urbanisasi
Urbanisasi merupakan salah satu gejala yang banyak menarik perhatian, karena tidak hanya berkaitan dengan masalah demografi, tetapi juga memiliki pengaruh penting terhadap proses pertumbuhan ekonomi. Thomas Malhtus menyatakan tentang hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan pembangunan ekonomi bahwa jumlah populasi disuatu negara akan meningkat cepat sesuai deret ukur atau tingkat geometris, sedangkan persediaan pangan meningkat menurut deret hitung. Artinya, penduduk menjadi unsur penting dalam kegiatan ekonomi dan usaha membangun suatu perekonomian. Jumlah penduduk umumnya dikaitkan dengan pertumbuhan income per capita suatu negara yang secara kasar mencerminkan perekonomian negara tersebut.
Malthus juga menyebutkan tiga faktor penyebab terjadinya laju pertumbuhan penduduk, seperti kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan migrasi (perpindahan penduduk). Salah satu motivasi seseorang untuk berpindah ke kota (urbanisasi) adalah motif ekonomi. Harapan yang ingin diperoleh dari urbanisasi adalah pekerjaan dan pendapatan yang tinggi diperkotaan. Pesatnya pertumbuhan industri dan sektor perdagangan secara langsung menyebabkan tingkat upah dikota lebih tinggi dibandingkan dengan upah dipedesaan yang umumnya bergerak dibidang pertanian. Disamping itu, sepertinya lapangan pekerjaan, fasilitas dan infrastruktur yang tidak memadai dipedesaan juga mendorong terjadinya migrasi ke perkotaan. Tingkat urbanisasi yang tinggi disuatu negara dapat mengindikasikan tingkat perekonomian yang tinggi. Demikian juga sebaliknya, tingkat perekonomian yang tinggi disuatu negara umunya juga dapat mendorong terjadinya pembangunan dinegara tersebut.
Selain ekonomi, daya tarik kota yang mendorong terjadinya urbanisasi ini disebut sebagai faktor penarik (pull factor). Pemicunya bukan hanya masalah
ekonomi, tetapi juga sosial-budaya dan pelayanan kehidupan kota, dimana kemajuan dan gemerlapnya kota menjadi daya terik terjadinya urbanisasi.
5.      Indusutrialisasi
Industri merupakan salah satu perubahan sosial yang terjadi dimasyarakat yang merupakan suatu pembangunan menuju arah perubahan ekonomi yang dari sebagaian berupa pedesaan dan pertanian menjadi perkotaan, industri dan jasa-jasa dalam kompetisinya. Industrialisasi sendiri pada pengertainnya adalah semua usaha dan kegiatan dibidang ekonomi yang bersifat produktif yang bertujuan menaikan nilai tambah seluruh sektor ekonomi, dimana industri sebagai leanding sector-nya. Sedangkan definisi lain mengatakan bahwa industri merupakan proses perubahan struktur ekonomi yang didalamnya terdapat kenaikan kontribusi sektor industri dalam permintaan konsumen, PDB, ekspor dan kesempatan kerja yang terjadi dihampir banyak nergara. Dengan ini, ketika negara sudah mencapai sektor industri menjadi
leading sector, negara tersebut dapat dikatakan telah mengalami industrialisasi.
Proses industrialisasi yang sebagai berlangsung saat ini mengakibatkan kota kebanjiran imigran dari desa-desa dengan segala aspeknya. Perbedaan budaya antara desa dan kota dapat mengakibatkan terjadinya akulturasi atau asimilasi budaya masyarakat urban perkotaan. Industrialisasi sendiri tidak hanya berorientasi pada ekonomi, melainkan juga mengarah pada penciptaan suatu budaya umum. Proses ini berlangsung secara kontinu yang selalu melibatkan faktor ekonomi, urbanisasi, transformasi sosial-budaya menuju keseimbangan struktur sosial yang baru.
Industrialisasi dianggap sebagai satu-satunya jalan pintas untuk meretas nasib kemakmuran suatu negara secara lebih cepat dibandingkan dengan tanpa melakukan proses tersebut. Dengan pegangan itulah, hampir semua negara didunia ini telah dan sedang menempuh strategi industrialisasi tersebut, dengan beberapa karakteristik yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Namun, setiap negara harus menyadari bahwa industrialisasi juga memberikan beberapa dampak bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Beberapa hal yang menjadi imbas dari industrialisasi adalah nilai-nilai sosial masyarakat akan hilang (gotong royong), kecemburuan sosial, kesenjangan masyarakat desa-kota, pencemaran lingkungan dan lain sebagainya.  Dengan demikian, perubahan sosial yang terjadi dimasyarakat pasca-industrialisasi merupakan sebuah keniscayaan. Akan tetapi tidak semua dampak tersebut bernada negatif. Ada pula dampak positifnya, yaitu berupa perkembangan tingkat pertumbuhan pendapatan masyaralat pedesaan (pola mata pencaharian) seperti kesempatan kerja dan kesempatan berusaha yang tentunya akan membuat masyarakat tergiur untuk terjun di sektor industri.

   C. FAKTOR PENGHAMBAT PERUBAHAN SOSIAL
Dalam dinamika masyarakat, selain terdapat faktor-faktor yang dapat mendorong bagi berlangsungnya proses perubahan sosial, juga terdapat faktor-faktor yang dapat menghalangi atau menghambatnya. Adapun faktor-faktor yang diperkirakan dapat menghambat atau menghalangi bagi terjadinya proses perubahan sosial tersebut antara lain:
1.      Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lambat.
Salah satu aspek pendorong terjadinya perubahan sosial budaya adalah majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Majunya perkembangan iptek menjadi indikator pula majunya taraf perkembangan budaya suatu masyarakat. Sementara maju dan tingginya taraf peradaban suatu masyarakat menyebabkan masyarakat tersebut akan cepat atau mudah mengadakan adaptasi (penyesuaian) terhadap munculnya perubahan-perubahan yang datang dari luar masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, apabila di dalam suatu masyarakat terjadi hal yang sebaliknya, yakni mengalami kelambanan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya, maka akan menyebabkan terhambatnya laju perubahan-perubahan sosial budaya pada masyarakat yang bersangkutan.
2.      Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.
Adanya kehidupan masyarakat yang tertutup, hingga menyebabkan setiap warganya sulit untuk melakukan kontak atau hubungan dengan masyarakat lain, menyebabkan warga masyarakat tersebut terasing dari dunia luar. Akibatnya, bahwa masyarakat tersebut tidak dapat mengetahui perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada masyarakat lain di luarnya. Jika hal tersebut tetap berlangsung, atau bahkan tidak sepanjang masa maka akan menyebabkan kemunduran bagi masyarakat yang bersangkutan, sebab mereka tidak memperoleh masukan-masukan misalnya saja pengalaman dari kebudayaan lain, yang dapat memperkaya bagi kebudayaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, faktor ketertutupan atau kurangnya hubungan dengan masyarakat atau kebudayaan lain, menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat atau menghalangi bagi proses perubahan sosial dan budaya di dalam masyarakat.
3.      Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan.
Adanya kekhawatiran di kalangan masyarakat akan terjadinya kegoyahan seandainya terjadi integrasi di antara berbagai unsur-unsur kebudayaan, juga menjadi salah satu faktor lain terhambatnya suatu proses perubahan sosial budaya. Memang harus diakui bahwa tidak mungkin suatu proses integrasi di antara unsur-unsur kebudayaan itu akan berlangsung secara damai dan sempurna, sebab biasanya unsur-unsur dari luar dapat menggoyahkan proses integrasi tersebut, serta dapat menyebabkan pula terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat.
4.      Adat dan kebiasaan.
Setiap masyarakat di manapun tempatnya, pasti memiliki adat serta kebiasaan tertentu yang harus ditaati dan diikuti oleh seluruh anggota masyarakat. Adat dan kebiasaan adalah seperangkat norma-norma (aturan tidak tertulis) yang berfungsi sebagai pedo-man bertingkah laku bagi seluruh anggota masyarakat. Adat biasanya berisi pola-pola perilaku yang telah diyakini dan diterima oleh masyarakat secara turun-temurun, bersifat kekal (abadi), dan oleh karena itu harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat, serta bersifat mengikat. Artinya, apabila ada sebagian anggota masyarakat yang tidak mengindahkan aturan adat maka akan mendapat sanksi yang berat baik sanksi moral maupun sosial dari masyarakat. 
Sedangkan kebiasaan adalah perbuatan yang pantas dikerjakan maka diterima oleh masyarakat. Karena pantas dikerjakan dan telah diterima oleh masyarakat, maka kebiasaan menjadi perilaku yang diulang-ulang dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya (secara turun-temurun) sehingga menjadi semacam aturan (norma) yang harus diikuti oleh setiap anggota masyarakat. Meskipun tidak sekuat adat, norma kebiasaan juga memiliki daya pengikat tertentu yang dapat menyebabkan setiap anggota berperilaku sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Dengan demikian dapatlah dibayangkan bahwa apabila dalam masyarakat tersebut muncul nilai (budaya) serta kebiasaan-kebiasaan baru yang akan menggeser kebiasaan-kebiasaan lama, apalagi sampai menggeser adat kebiasaan yang selama ini telah menjadi pedoman serta aturan yang dipegang teguh secara turun-temurun, maka nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru tersebut akan ditentang, atau bahkan ditolaknya. Misalnya nilai-nilai baru di masyarakat yang mengatakan bahwa upacara hajatan dapat dilaksanakan kapan saja, karena pada hakikatnya semua hari dan bulan itu baik sekalipun dilaksanakan di bulan Suro (Muharram). Sedangkan di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Jawa ada semacam keyakinan yang telah dipegang teguh karena telah menjadi adat kebiasaan secara turun-temurun, ialah bahwa menyelenggarakan acara hajatan di bulan Suro adalah suatu pantangan (dilarang), sebab jika dilaksanakan akan mendatangkan mara bahaya (bencana), khususnya bagi mereka yang tetap menyelenggarakannya. Dengan demikian, di kalangan masyarakat Jawa yang percaya serta memegang secara teguh tradisi serta adat kebiasaan semacam itu, tentu akan mengalami kesulitan untuk bisa merubah keyakinan yang telah mendarah daging itu, meskipun dari luar angin perubahan telah bertiup dengan kencangnya.
5.      Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat (vested interests)
        Dalam setiap organisasi sosial yang mengenal sistem berlapis-lapisan, pasti akan ada sekelompok orang-orang yang menikmati kedudukan dalam suatu proses perubahan. Pada masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami masa transisi, misalnya saja dari otoritarianisme ke sistem demokrasi biasanya terdapat segolongan orang-orang yang merasa dirinya berjasa atas terjadinya perubahan-perubahan. Pada segolongan masyarakat yang berjasa itu biasanya akan selalu mengidentifikasikan diri dengan usaha serta jasa-jasanya tersebut, sehingga sulit sekali bagi mereka untuk melepaskan kedudukan yang baru diperolehnya itu dalam suatu proses perubahan. Hal inilah yang juga dirasa menjadi salah satu faktor penghalang berikutnya bagi jalannya suatu proses perubahan.
6.      Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap tertutup.
Adanya sikap semacam itu, misalnya dapat saja dialami oleh suatu masyarakat (bangsa) yang pada masa lalunya pernah mengalami pengalaman pahit selama berinteraksi dengan masyarakat (bangsa) lainnya di dunia. Sebut saja misalnya pada masyarakat-masyarakat yang dahulunya pernah mengalami proses penjajahan oleh bangsa lain, seperti bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika oleh penjajahan bangsa Barat. Mereka tidak akan melupakan begitu saja atas berbagai pengalaman pahit yang pernah diterimanya pada masa lalu, dan hal tersebut ternyata berdampak pada munculnya kecurigaan di kalangan bangsa-bangsa yang pernah dijajah itu terhadap sesuatu atau apa-apa yang datang dari barat. Selanjutnya, karena secara kebetulan unsur-unsur baru yang masuk itu juga kebanyakan berasal dari negara-negara barat, maka prasangka-prasangka (negatif) juga tetap ada, terutama akibat rasa kekawatiran mereka akan munculnya penjajahan kembali yang masuk melalui unsur-unsur budaya tersebut. Dengan demikian munculnya prasangka serta adanya sikap menolak terhadap kebudayaan asing juga akan menjadi salah satu faktor penghambat lain bagi jalannya proses perubahan sosial budaya suatu masyarakat..
7.      Nilai bahwa hidup ini buruk dan tidak mungkin dapat diperbaiki.
Di kalangan masyarakat terdapat kepercayaan bahwa hidup di dunia itu tidak perlu ngoyo (terlalu berambisi) sebab baik buruknya suatu kehidupan (nasib/takdir) itu sudah ada yang mengatur, oleh karena itu harus dijalaninya secara wajar. Sementara jika manusia diberikan kehidupan yang jelek, maka harus diterimanya pula apa adanya (nrimo ing pandum) serta dengan penuh kepasrahan karena memang nasib yang harus diterimanya demikian. Dengan demikian manusia tidak perlu repot-repot berusaha, apalagi sampai ngoyo, karena tidak ada gunanya sebab hasilnya pasti akan jelek, sebab sudah ditakdirkan jelek. Adanya keyakinan dari masyarakat untuk selalu menerima setiap nasib yang diberikan Tuhan kepada manusia dengan penuh kepasrahan, termasuk bila harus menerima nasib (takdir) buruk, menyebabkan kehidupan masyarakat menjadi bersifat pesimistis dan statis, atau bahkan fatalistik. Adanya pemahaman yang keliru tentang nasib manusia itulah, sehingga di dalam masyarakat tidak muncul dinamisasi, yang berarti tidak ada perubahan, atau jika ada perubahan maka hal tersebut akan berjalan secara lambat.
8.      Hambatan yang bersifat ideologis.
Adanya faktor penghambat yang bersifat ideologis, karena biasanya setiap usaha mengadakan perubahan-perubahan pada unsur-unsur kebudayaan rohaniah, akan diartikan sebagai suatu usaha yang berlawanan dengan ideologi masyarakat yang merupakan dasar bagi terciptanya integrasi dari masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu faktor-faktor yang bersifat ideologis akan tetap menjadi perintang bagi jalannya perubahan-perubahan.
9.      Sikap masyarakat yang sangat tradisional.
Apabila di dalam masyarakat muncul suatu sikap mengagungagungkan akan tradisi masa lampau serta menganggap bahwa tradisi tersebut secara mutlak tak dapat dirubah, maka sudah dapat dipastikan bahwa pada masya-rakat tersebut akan mengalami hambatan-hambatan dalam proses perubahan sosial budayanya. Keadaan tersebut akan menjadi lebih parah lagi apabila golongan yang berkuasa dalam masyarakat juga berasal dari golongan yang bersifat konservatif, yakni suatu golongan yang notabenenya adalah penentang atau anti terhadap perubahan-perubahan.  Selain yang sudah disebutkan di atas, dilihat dari segi intern (dari dalam masyarakat yang mengalami perubahan), terjadinya proses perubahan sosial juga dapat terhambat oleh karena adanya faktor-faktor sebagai berikut:
a.       Adanya sikap masyarakat yang ragu-ragu, bahkan curiga terhadap sesuatu yang baru yang dianggap dapat berdampak negatif.
b.      Adanya kecenderungan dari masyarakat untuk menyukai dan mempertahankan sesuatu hal yang lama.
c.       Kurangnya pengetahuan dan pendidikan masyarakat terhadap sesuatu yang baru.
Faktor penghambat perubahan sosial (Menurut Teori Konflik) Teori Konflik merupakan teori yang lahir untuk menggantikan fungsionalisme-struktural. Tidak lama setelah memegang posisi memimpin dalam teori sosiologis, fungsionalisme-struktural segera mendapatkan serangan yang terus meningkat mulai dari beberapa segi, yaitu: fungsionalisme struktural dituduh secara politis konservatif, tidak mampu menangani perubahan sosial karena berfokus pada struktur-struktur yang statis dan tidak mampu menganalisis konflik sosial secara memadai.
Menurut Stephen P. Robbins, konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang berlaku akibat adanya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan diantara dua pihak atau lebih dimana masing-masing komponen masyarakat memiliki kepentingan dan tujuan sendiri-sendiri dan tidak mau bekerja sama. Dalam pandangan hubungan manusia (The Human Relation View), konflik merupakan peristiwa wajar yang terjadi dimasyarakat. Konflik tidak dapat dihindari, karena pada dasarnya setiap indiviu atau kelompok memang hidup dalam perbedaan.
Selain pandangan The Human Relation View, juga terdapat pandangan lain, yaitu pandangan Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini menyebutkan, bahwa konflik dapat mendorong dinamika/perubahan sosial. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga akan terus menyemangati individu dan masyarakat untuk berkembang, kritis dan kreatif. Berikut beberapa faktor penghambat perubahan sosial dalam kaitannya dengan teori konflik.
     a. Tindakan Kejahatan (Kriminalitas)
Masyarakat saat ini yang hidup serba kompleks telah memunculkan beragam masalah sosial, salah satunya adalah kriminalitas. Kriminalitas atau tindak kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan norma sosial yang berlaku dimasyarakat. Bahkan dapat dikatakan kriminalitas adalah muara dari problematika perubahan sosial yang harus siap ditanggung baik dalam jangka waktu lambat ataupun cepat. Hal ini kerena terjadinya tindakan kriminal secara sosiologis terkait dengan masalah jumlah penduduk, industri, pengangguran dan jumlah kemiskinan dalam masyarakat. Sedangkan Kartini Kartono menjelaskan dalam banyak kasus, kejahatan terjadi karena banyak faktor seperti faktor biologis, sosiologis, ekonomis, mental, fisik dan kehidupan pribadi.
Kejahatan akan senantiasa ada dan terus mengikuti perubahan zaman. Perkembangan masyarakat yang semakin maju, menyebabkan kejahatanpun ikut mengalami perubahan baik pada sisi bentuk maupun modusnya. Oleh karena itu sulit bagi suatu negara untuk melenyapkan kejahatan secara total. Emile Durkheim mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu gejala normal didalam setiap masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perubahan sosial oleh karena itu tidak mungkin kejahatan dapat dimusnahkan sampai tuntas.
Terdapat banyak pendapat yang menyatakan bahwa perubahan sosial dapat menyebabkan kriminalitas, hal tersebut karena perubahan tersebut dapat membawa seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan yang dipengaruhi oleh keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi atau terpaksakan dalam kehidupannya. Namun, disini juga perlu disadari bahwa perubahan sosial juga merupakan suatu proses menuju ke suatu keadaan yang lebih baik (harmoni), namun kehidupan harmoni tersebut juga tidak akan tercapai apabila selalu terjadi kejahatan/kriminalitas dimana-mana. Disini artinya adalah, kriminalitas adalah salah satu faktor yang juga menghambat perubahan sosial (menuju kehidupan yang lebih baik) bukan hanya sebagai imbas dari perubahan sosial. Hal tersebut karena setiap orang memiliki pandangan yang berbeda mengenai faktor yang mempengaruhi perubahan sosial.
   b. Pertentangan
Pertentangan masyarakat berpeluang besar menjadi sebab perubahan sosial. Pertentangan-pertentangan tersebut mungkin dapat terjadi antara individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok yang dapat menimbulkan perubahan sosial.16 Pertentangan antara kelompok mungkin dapat terjadi antara generasi tua dan generasi muda. Pertentangan demikian itu kerap kali terjadi, terutama pada masyarakat yang tengan berkembang dari tahap tradisional menuju modernitas. Generasi muda yang belum terbentuk kepribadiannya, lebih mudah menerima unsur-unsur kebudayaan asing yang dalam beberapa hal mempunyai taraf yang lebih tinggi. Berbeda dengan golongan tua yang masih mempertahankan pemikiran konservatifnya dan cenderung sangat protektif dalam menghadapi segala perubahan. Keadaan demikian menimbulkan perubahan-perubahan tertentu dalam masyarakat, misalnya pergaulan yang lebih bebas antara wanita dan pria atau kedudukan mereka yang kian sederajat didalam masyarakat dan lain sebagainya.
  c. Terjadinya Pemberontakan (Revolusi)
Terjadinya pemberontakan atau revolusi didalam tubuh masyarakat itu sendiri dapat terjadi karena adanya pemberontakan atau perlawanan besar-besaran dan tiba-tiba dengan menggunakan kekerasan oleh kekuatan-kekuatan dalam masyarakat terhadap kondisi yang ada. Terjadinya pemberontakan diawali dengan adanya ketidakpuasan sebagian masyarakat. Ketidakpuasan ini diarahkan pada sistem kekuasaan yang dianggapnya tidak cocok sehingga mendorong untuk keluar dan membuat sistem kekuasaan yang berbeda. Rezim yang bertindak despotik atau lalim menimbulkan ketidakadilan dimasyarakat sehingga mendorong sebagian masyarakat yang merasa tidak diuntungkan melakukan pemberontakan. Situasi dan kondisi ini memunculkan revolusi sebagai wujud dari pemberontakan. Adanya revolusi akan membawa perubahan-perubahan besar dalam tubuh masyarakat. Salah satu contoh dari bentuk revolusi yang meletus pada Oktober 1917 di Rusia telah menyulut terjadinya perubahan-perubahan besar yang mula-mula mempunyai bentuk kerajaan absolut berubah menjadi diktator proletariat yang dilandasakan pada doktrin Marxis. Dimana segenap lembaga kemasyarakatan, mulai dari bentuk negara sampai keluarga batih mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.
  d. Konflik SARA
Menurut pengertian, SARA, yaitu suatu kekerasan yang dilatarbelakangi sentimental antar suku, agama, ras atau golongan tertentu. Konflik SARA biasanya tejadi karena adanya egoisitas seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan dengan jalan kekerasan. Dalam pengertian lain SARA dapat disebut diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, dimana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk saling membeda-bedakan. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain maka hal tersebut yang diduga sebagai dasar utama dari tindakan diskriminasi Konflik SARA pada dasarnya lahir dari sikap Primordialisme, yaitu suatu paham yang menganggap bahwa kelompoknya lebih tinggi dan lebih hebat dari kelompok lain. Paham tersebut mengakibatkan anggota-anggotanya lebih menghormati kelompoknya sendiri dibandingkan dengan kelompok lain. Primordialisme dapat berdampak positif dan juga dapat berdampak negative. Dampak positifnya, lebih mengeratkan hubungan antar anggota-anggotanya, tetapi dampak negatif dari sikap seperti ini dapat membuat individu atau kelompok melihat kelompok lain lebih rendah dan hina dihadapan mereka, serta segala halnya harus seperti yang mereka lakukan. Konflik yang berbau unsur SARA biasanya diakibatkan oleh permusuhan turun temurun yag diatur oleh sistem tradisional yang meliputi dendam yang dipelihara oleh nenek moyang yang lalu diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Sumber :
1.      Sunarto,Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Edisi Ke-3. Depok : Fakultas Ekonomi UI.
2.      Donatus Patty.2005. Pengantar Sosiologi. Kupang: CV Kasih Indah.
3.      Ritzer, George.2012 Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terkakir Psotmodern. Yogyakarta : Pustaka Belajar.
4.      Mulyadi, yad. 2014. Sosiologi SMA Kelas XII. Jakarta timur : Yudhistira.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENTUK KEARIFAN LOKAL

POTENSI KEARIFAN LOKAL DI INDONESIA

BENTUK PERUBAHAN SOSIAL BERDASAR PROSES DAN SIFAT

STRATEGI PEMBERDAYAAN KOMUNITAS DITENGAH PENGARUH GLOBALSASI

Pengaruh gobalisasi terhadap kearifan lokal di Indonesia

PENGERTIAN, CIRI-CIRI, DAN FUNGSI KARIFAN LOKAL

BATASAN PERUBAHAN SOSIAL

Berbagai Kearifan Lokal di Indonesia dan Pengaruh Globalisasi, Arus Informasi, dan Teknologi dalam Keragaman