FAKTOR PERUBAHAN SOSIAL
Perubahan
tidak datang dengan sendirinya, tetapi terjadi melalui interaksi sosial harian
dan bila dikaitkan dengan pemikiran Dahrendorf, maka unsur dominasi menjadi
salah satu penyebab terjadinya perubahan. Ada begitu banyak faktor pemicu
adanya perubahan sosial, namun yang paling umum terjadi adalah karena bersumber
dari dalam masyarakat itu sendiri atau faktor internal dan yang bersumber dari
luar masyarakat atau faktor eksternal. Begitu juga dengan siapa yang menjadi
aktor dibalik munculnya suatu perubahan sosial. Dalam bahasan umum sumber perubahan
sosial seringkali didasarkan pada dua sumber pokok, yakni internal (dalam) dan
external (luar).
Adapun
sebab-sebab terjadinya perubahan sosial dari faktor internal menurut (Donatus
Patty,2005) antara lain:
1. Penduduk,
perubahan jumlah penduduk seperti bertambahnya jumlah penduduk karena
transmigrasi dapat mengakibatkan perubahan-perubahan pada struktur masyarakat
terutama mengenai lembaga-lembaga kemasyarakatan. Kehadiran transmigrasi dapat
berdampak positif dan menguntungkan jika mereka memiliki keterampilan kerja.
2. Pertentangan/konflik,
selama manusia hidup berkelompok, selama itu pula terdapat pertentangan.
Pertentangan merupakan bagian dari interaksi sosial, karena itu pertentangan
tidak mungkin dihilangkan tetapi dapat diatasi. Ketika sumber pemenuhan
kebutuhan semakin terbatas, akan menimbulkan persaingan dan pada akhirnya
mengakibatkan konflik. Ketika terjadi konflik, dalam masyarakat muncul
kekecewaan dan keresahan sosial, maka pada saat itu individu-individu sangat
mudah terpengaruh dengan hal-hal yang baru.
3. Penemuan
baru, penemuan baru dalam kebudayaan dapat berpengaruh pada berbagai sektor
kehidupan lainnya. Pengaruh-pengaruh tersebut saling berkaitan dan saling
mempengaruhi bidang-bidang kehidupan yang satu dengan lainnya. Contohnya
penemuan listrik mengakibatkan penemuan radio, televisi dan komputer yang
akhirnya dapat mempengaruhi adat istiadat, pendidikan, ekonomi dan pola
perilaku masyarakat.
Adapun
perubahan sosial terjadi karena adanya faktor eksternal atau faktor-faktor yang
bersumber dari luar masyarakat itu sendiri menurut (Donatus Patty,2005) antara
lain:
1. Lingkungan
alam, lingkungan alam turut mempengaruhi keadaan sosial, kebudayaan serta
perilaku masyarakat yang hidup di sekitarnya. Lingkungan alam yang berbeda-beda
berdampak pada mata pencaharian masyarakat yang berbeda-beda pula. Masyarakat
yang tinggal di pedesaan kehidupan sosialnya berbeda dengan masyarakat
perkotaan.
2. Peperangan,
peperangan antar dua negara atau lebih menyebabkan adanya perubahan, di mana
pihak yang kalah akan dipaksa untuk mengikuti semua keinginan pihak yang
menang, termasuk dalam hal ekonomi, kebudayaan dan pola perilaku.
3. Pengaruh
kebudayaan lain, masuknya kebudayaan asing yang diterima dan diterapkan
berdampak pada kehidupan sosial yang mengakibatkan terjadinya perubahan sistem
sosial. Akibat globalisasi informasi, transparasi dan ekonomi, pengaruh budaya
asing merubah keseluruhan tatanan hidup dan pola perikelakuan masyarakat,
seperti pola konsumsi dan gaya hidup.
B. FAKTOR PENDORONG PEPRUBAHAN SOSIAL
Proses
perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara
cepat atau lancar, dan dapat pula berlangsung secara tidak cepat atau tidak
lancar, misalnya saja dengan cara yang lambat atau tersendat-sendat. Adapun
secara umum, faktor-faktor yang diperkirakan dapat mendorong
(memperlancar/mempercepat) bagi jalannya proses perubahan sosial itu antara
lain:
1. Adanya
kontak dengan kebudayaan masyarakat lain.
Salah satu proses yang
menyangkut hal ini adalah misalnya diffusion. Difusi adalah suatu proses
penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari seseorang kepada orang lain, dan dari
satu masyarakat ke masyarakat lain. Dengan terjadinya difusi, suatu penemuan
baru yang telah diterima oleh masyarakat misalnya, dapat diteruskan dan
disebarluaskan pada masyarakat lain, sampai masyarakat tersebut dapat menikmati
kegunaan dari hasil-hasil peradaban bagi kemajuan manusia. Maka proses semacam
itu merupakan pendorong bagi pertumbuhan suatu kebudayaan dan memperkaya
kebudayaan-kebudayaan umat manusia.
Difusi antar masyarakat dipengaruhi
oleh:
a. Adanya
kontak antara antara masyarakat-masyarakat tersebut
b. Ada
tidaknya unsur-unsur kebudayaan yang menyaingi unsurunsur penemuan.
c. Kemampuan
untuk mendemonstrasikan manfaat-manfaat penemuan baru.
d. Peranan
masyarakat yang menyebarkan penemuan baru.
e. Paksaan
untuk menerima penemuan baru.
f. Pengakuan
akan kegunaan penemuan baru.
Difusi
memperkaya dan menambah unsur-unsur kebudayaan, yang memerlukan
perubahan-perubahan sosial dalam lembaga-lembaga kemasyarakatan.
2. Adanya sikap terbuka terhadap karya serta
keinginan orang lain untuk maju
Sikap menghargai karya orang lain dan keinginan-keinginan untuk maju merupakan salah satu pendorong bagi jalannya perubahan-perubahan. Apabila sikap tersebut telah melembaga, maka masyarakat akan memberikan pendorong bagi usaha-usaha untuk mengadakan penemuanpenemuan baru. Pemberian hadiah nobel dan yang sejenisnya misalnya, merupakan pendorong bagi individu-individu maupun kelompok-kelompok lainnya untuk menciptakan karya-karya yang baru lagi.
Sikap menghargai karya orang lain dan keinginan-keinginan untuk maju merupakan salah satu pendorong bagi jalannya perubahan-perubahan. Apabila sikap tersebut telah melembaga, maka masyarakat akan memberikan pendorong bagi usaha-usaha untuk mengadakan penemuanpenemuan baru. Pemberian hadiah nobel dan yang sejenisnya misalnya, merupakan pendorong bagi individu-individu maupun kelompok-kelompok lainnya untuk menciptakan karya-karya yang baru lagi.
3. Adanya
Sistem pendidikan formal yang maju.
Sistem pendidikan yang
baik yang didukung oleh kurikulum adaptif maupun fleksibel misalnya, akan mampu
mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial budaya. Pendidikan formal,
misalnya di sekolah, mengajarkan kepada anak didik berbagai macam pengetahuan
dan kemampuan yang dibutuhkan oleh para siswa. Di samping itu, pendidikan juga
memberikan suatu nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka
pikirannya serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara
ilmiah. Namun jika dikelola secara baik dan maju, pendidikan bukan hanya
sekedar dapat mengajarkan pengetahuan, kemampuan ilmiah, skill, serta
nilai-nilai tertentu yang dibutuhkan siswa, namun lebih dari itu juga mendidik
anak agar dapat berpikir secara obyektif. Dengan kemampuan penalaran seperti
itu, pendidikan formal akan dapat membekali siswa kemampuan menilai apakah
kebudayaan masyarakatnya akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan jamannya atau
tidak. Nah, di sinilah kira-kira peranan atau faktor pendorong bagi pendidikan
formal yang maju untuk berlangsungnya perubahanperubahan dalam masyarakat.
4. Sikap
berorientasi ke masa depan.
Adanya prinsip bahwa
setiap manusia harus berorientasi ke masa depan, menjadikan manusia tersebut
selalu berjiwa (bersikap) optimistis. Perasaan dan sikap optimistis, adalah
sikap dan perasaan yang selalu percaya akan diperolehnya hasil yang lebih baik,
atau mengharapkan adanya hari esok yang lebih baik dari hari sekarang.
Sementara jika di kalangan masyarakat telah tertanam jiwa dan sikap optimistis
semacam itu maka akan menjadikan masyarakat tersebut selalu bersikap ingin maju,
berhasil, lebih baik, dan lain-lain. Adanya jiwa dan sikap optimistik, serta
keinginan yang kuat untuk maju itupula sehingga proses-proses perubahan yang
sedang terjadi dalam masyarakat itu dapat tetap berlangsung.
5. Sistem
lapisan masyarakat yang bersifat terbuka (open stratification).
Sistem stratifikasi
sosial yang terbuka memungkinkan adanya gerak vertikal yang luas yang berarti
memberi kesempatan bagi individu-individu untuk maju berdasar kemampuannya.
Dalam keadaan demikian, seseorang mungkin akan mengadakan identifikasi dengan
warga-warga yang mempunyai status yang lebih tinggi. Dengan demikian, seseorang
merasa dirinya berkedudukan sama dengan orang atau golongan lain yang
dianggapnya lebih tinggi dengan harapan agar mereka diperlakukan sama dengan golongan
tersebut. Identifikasi terjadi di dalam hubungan superordinat-subordinat. Pada
golongan yang lebih rendah kedudukannya, sering terdapat perasaan tidak puas
terhadap kedudukan sosial yang dimilikinya. Keadaan tersebut dalam sosiologi
dinamakan “status-anxiety”. “Status-anxiety” tersebut menyebabkan seseorang
berusaha untuk menaikkan kedudukan sosialnya.
6. Adanya
komposisi penduduk yang heterogen.
Pada kelompok-kelompok
masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang seperti kebudayaan, ras
(etnik), bahasa, ideologi, status sosial, dan lain-lain, atau yang lebih
populer dinamakan “masyarakat heterogen”, lebih mempermudah bagi terjadinya
pertentangan-pertentangan ataupun kegoncangan-kegoncangan. Hal semacam ini juga
merupakan salah satu pendorong bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial dalam
masyarakat.
7. Nilai
bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya.
Nasib manusia memang
sudah ditentukan oleh Tuhan, namun adalah menjadi tugas dan kewajiban manusia
untuk senantiasa berikhtiar dan berusaha guna memperbaiki taraf kehidupannya.
Lagipula, menurut ajaran agama juga ditekankan bahwa Tuhan tidak akan mengubah
nasib sesuatu umat (termasuk individu) selama umat (individu) tersebut tidak
berusaha untuk mengubahnya. Dengan demikian tugas manusia adalah berusaha, lalu
berdoa, sedangkan hasil akhir adalah Tuhan yang menentukannya. Adanya
nilai-nilai hidup serta keyakinan yang semacam itu menyebabkan kehidupan
manusia menjadi dinamik, dan adanya dinamisasi kehidupan inilah sehingga perubahan-perubahan
sosial budaya dapat berlangsung.
8. Ketidakpuasan
masyarakat terhadap bidang kehidupan tertentu.
Munculnya ketidakpuasan
masyarakat terhadap bidangbidang kehidupan tertentu, misalnya adanya
pelaksanaan pembangunan yang hanya menguntungkan golongan tertentu, pembagian
hasil pembangunan yang tidak merata, semakin melebarnya jurang pemisah antara
si kaya dan si miskin, dan lain-lain, dapat menyebabkan terjadinya kekecewaan
dalam masyarakat. Bahkan jika dibiarkan sampai berlarut-larut, hal semacam itu
dapat mengakibatkan terjadinya demo ataupun protes-protes yang semakin meluas,
atau bahkan kerusuhan-kerusuhan, dan revolusi. Dengan demikian adanya
ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu dapat
mendorong bagi bergulirnya perubahanperubahan sosial budaya.
9. Toleransi
Masyarakat tidak kaku
dalam menghadapi norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri,
terutama norma yang tidak tertulis. Apabila terjadi suatu perilaku yang berbeda
dalam suatu masyarakat, namun tidak keluar dari persoalan yang dapat mengarah
pada aspekaspek negatif, seperti konflik sosial. Sikap tidak mempersoalkan
perilaku tersebut merupakan bagian dari sikap toleransi terhadap orang lain.
Contohnya, di perkotaan secara umum dihuni oleh warga yang sangat heterogen.
Salah satu heterogenitasnya adalah dalam bahasa. Terkadang bahasa yang
digunakan antara anggota masyarakat memiliki nilai yang berbeda. Satu pihak
menilainya sebagai bahasa halus dan sopan, namun pihak lain menilai sebaliknya.
Di sinilah sangat dibutuhkan sikap toleransi.
10. Sistem
Stratifikasi Sosial Terbuka.
Masyarakat yang
memiliki stratifikasi (lapisan) sosial terbuka memungkinkan terjadinya
mobilitas (perpindahan) sosial antarlapisan. Seseorang yang berada pada lapisan
yang paling bawah dapat berpindah ke lapisan yang lebih atas apabila yang
bersang kutan berusaha dan bekerja keras untuk mencapainya.
Selain sejumlah faktor-faktor di atas, terjadinya perubahan sosial dapat pula didorong atau dipercepat karena adanya faktor-faktor intern (dari mayarakat yang mengalami perubahan) seperti:
Selain sejumlah faktor-faktor di atas, terjadinya perubahan sosial dapat pula didorong atau dipercepat karena adanya faktor-faktor intern (dari mayarakat yang mengalami perubahan) seperti:
a. Adanya
sikap masyarakat yang selalu terbuka terhadap setiap perubahan.
b. Berkembangnya
pola pemikiran yang positif terhadap hal-hal yang baru.
c. Adanya
sikap masyarakat yang selalu menyukai sesuatu yang baru.
d. Adanya
pengalaman yang luas dari masyarakat yang bersangkutan.
Menurut
teori struktural fungsional, Talcot Parson melahirkan teori
struktural-fungsional tentang perubahan. Parson menganalogikan perubahan sosial
pada masyarakat seperti halnya seperti pertumbuhan pada makhluk hidup. Komponen
utama pemikiran Parson adalah adanya proses diferensiasi. Ia berasumsi bahwa
setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan
strukturnya ataupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih
luas. Ketika berubah, masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang
lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa
Parson termasuk dalam golongan orang yang memandang optimis sebuah proses
perubahan. Perubahan sosial yang sifatnya struktural-fungsional dapat
dirumuskan oleh pengaruh-pengaruh sebagai berikut :
1. Pengaruh
Politik
Pemikiran Coleman tidak
berbeda jauh dengan pemikiran Smelser, yaitu melakukan pendekatan dengan
diferensiasi, tetapi diferensiasi Coleman pada bidang politik sedangkan Smelser
pada kajian sosiologis. Diferensiasi politik dari Coleman dimaksudkan bahwa
politik saat ini lebih menuju sistem politik modern yang di dalamnya memiliki
lembaga-lembaga politik yang satu sama lainnya yang saling berkaitan. Dari
deferensiasi politik, Coleman pun mengakui efek samping berikut sebagai berikut:
a. Ketegangan
dan perpecahan dalam sistem politik.
b. Krisis
identitas nasional pada masa peralihan dari masyarakat primodal ke modern.
c. Krisis
legimitasi pemerintahan baru.
d. Ketidakmampuan
pemerintahan pusat melaksanakan secara efisien.
e. Rendahya
partisipasi politik.
f. Krisis
intergrasi dan koordinasi berbagai kelompok politik dominan.
g. Krisis
distribusi ketika negara tidak mampu mencapai pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan hasilnya sesuai dengan harapan masyarakat.
2. Pengaruh
Pendidikan
Pendidikan merupakan
faktor yang menyebabkan perubahan sosial dibidang lain, diluar bidang ekonomi
dan politik. Perubahan sosial dilihat dari pendekatan dalam pendidikan, bukan
merupakan perubahan secara alamiah, melainkan memerlukan perencanaan, kemudian
dilaksanakan dan pengevaluasian untuk melihat perubahan pendidikan yang terjadi
dalam satu periode. Ada lima pendekatan perubahan yang dapat digunakan menilai
keberhasilan perubahan sosial yang berkaitan dengan pendidikan yaitu sebagai
berikut:
a. Perubahan
input yaitu orientasi masukan.
b. Perubahan
luaran atau perubahan jangka pendek.
c. Perubahan
outcomes yaitu perubahan atau luaran jangka menengah.
d. Perubahan
asas manfaat yaitu pendekatan benefit.
e. Pendekatan
perubahan jangka panjang yaitu seperti impact atau dampak.
3. Perubahan
Budaya
Kebudayaan diartikan
sebagai segala sesuatu yang pernah dihasilkan manusia yang berasal dari
pemikirannya. Tiga wujud utama dari kebudayaan adalah sebagai berikut.
a. Keseluruhan
ide, gagasan, nilai, norma peraturan, dan ketentuan lainnya yang berperan
mengarahkan kelakuan masyarakat yaitu adat dan kelakuan.
b. Keseluruhan
aktivitas kelakuan berpola dari manusia yang berlaku di masyarakat yang
selanjutnya yang disebut sistem sosial.
c. Keseluruhan
karya manusia yang berbentuk fisik.
Perubahan sosial yang
dialami oleh setiap masyarakat pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan
perubahan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Perubahan sosial dapat
meliputi semua segi kehidupan masyarakat. Perubahan sosial dapat meliputi semua
segi kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dalam cara berifikir dan berintearksi,
perubahan dalam sikap dan orientasi, perubahan dalam tata cara kerja, perubahan
dalam kelembagaan, perubahan dalam tata cara dan alat-alat kegiatan yang
semakin maju. Perubahan sosial budaya meliputi perubahan fungsi kebudayaan dan
perilaku manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan lain.
4. Urbanisasi
Urbanisasi merupakan
salah satu gejala yang banyak menarik perhatian, karena tidak hanya berkaitan
dengan masalah demografi, tetapi juga memiliki pengaruh penting terhadap proses
pertumbuhan ekonomi. Thomas Malhtus menyatakan tentang hubungan antara
pertumbuhan penduduk dengan pembangunan ekonomi bahwa jumlah populasi disuatu
negara akan meningkat cepat sesuai deret ukur atau tingkat geometris, sedangkan
persediaan pangan meningkat menurut deret hitung. Artinya, penduduk menjadi
unsur penting dalam kegiatan ekonomi dan usaha membangun suatu perekonomian.
Jumlah penduduk umumnya dikaitkan dengan pertumbuhan income per capita suatu
negara yang secara kasar mencerminkan perekonomian negara tersebut.
Malthus juga
menyebutkan tiga faktor penyebab terjadinya laju pertumbuhan penduduk, seperti
kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan migrasi (perpindahan
penduduk). Salah satu motivasi seseorang untuk berpindah ke kota (urbanisasi)
adalah motif ekonomi. Harapan yang ingin diperoleh dari urbanisasi adalah
pekerjaan dan pendapatan yang tinggi diperkotaan. Pesatnya pertumbuhan industri
dan sektor perdagangan secara langsung menyebabkan tingkat upah dikota lebih
tinggi dibandingkan dengan upah dipedesaan yang umumnya bergerak dibidang
pertanian. Disamping itu, sepertinya lapangan pekerjaan, fasilitas dan
infrastruktur yang tidak memadai dipedesaan juga mendorong terjadinya migrasi
ke perkotaan. Tingkat urbanisasi yang tinggi disuatu negara dapat
mengindikasikan tingkat perekonomian yang tinggi. Demikian juga sebaliknya, tingkat
perekonomian yang tinggi disuatu negara umunya juga dapat mendorong terjadinya
pembangunan dinegara tersebut.
Selain ekonomi, daya
tarik kota yang mendorong terjadinya urbanisasi ini disebut sebagai faktor
penarik (pull factor). Pemicunya bukan hanya masalah
ekonomi, tetapi juga sosial-budaya dan pelayanan kehidupan kota, dimana kemajuan dan gemerlapnya kota menjadi daya terik terjadinya urbanisasi.
ekonomi, tetapi juga sosial-budaya dan pelayanan kehidupan kota, dimana kemajuan dan gemerlapnya kota menjadi daya terik terjadinya urbanisasi.
5. Indusutrialisasi
Industri merupakan
salah satu perubahan sosial yang terjadi dimasyarakat yang merupakan suatu
pembangunan menuju arah perubahan ekonomi yang dari sebagaian berupa pedesaan
dan pertanian menjadi perkotaan, industri dan jasa-jasa dalam kompetisinya.
Industrialisasi sendiri pada pengertainnya adalah semua usaha dan kegiatan
dibidang ekonomi yang bersifat produktif yang bertujuan menaikan nilai tambah
seluruh sektor ekonomi, dimana industri sebagai leanding sector-nya. Sedangkan
definisi lain mengatakan bahwa industri merupakan proses perubahan struktur
ekonomi yang didalamnya terdapat kenaikan kontribusi sektor industri dalam
permintaan konsumen, PDB, ekspor dan kesempatan kerja yang terjadi dihampir
banyak nergara. Dengan ini, ketika negara sudah mencapai sektor industri
menjadi
leading sector, negara tersebut dapat dikatakan telah mengalami industrialisasi.
leading sector, negara tersebut dapat dikatakan telah mengalami industrialisasi.
Proses industrialisasi
yang sebagai berlangsung saat ini mengakibatkan kota kebanjiran imigran dari
desa-desa dengan segala aspeknya. Perbedaan budaya antara desa dan kota dapat
mengakibatkan terjadinya akulturasi atau asimilasi budaya masyarakat urban
perkotaan. Industrialisasi sendiri tidak hanya berorientasi pada ekonomi,
melainkan juga mengarah pada penciptaan suatu budaya umum. Proses ini
berlangsung secara kontinu yang selalu melibatkan faktor ekonomi, urbanisasi,
transformasi sosial-budaya menuju keseimbangan struktur sosial yang baru.
Industrialisasi
dianggap sebagai satu-satunya jalan pintas untuk meretas nasib kemakmuran suatu
negara secara lebih cepat dibandingkan dengan tanpa melakukan proses tersebut.
Dengan pegangan itulah, hampir semua negara didunia ini telah dan sedang
menempuh strategi industrialisasi tersebut, dengan beberapa karakteristik yang
berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Namun, setiap negara harus
menyadari bahwa industrialisasi juga memberikan beberapa dampak bagi
kelangsungan hidup masyarakat.
Beberapa hal yang
menjadi imbas dari industrialisasi adalah nilai-nilai sosial masyarakat akan
hilang (gotong royong), kecemburuan sosial, kesenjangan masyarakat desa-kota,
pencemaran lingkungan dan lain sebagainya. Dengan demikian, perubahan sosial yang terjadi
dimasyarakat pasca-industrialisasi merupakan sebuah keniscayaan. Akan tetapi
tidak semua dampak tersebut bernada negatif. Ada pula dampak positifnya, yaitu
berupa perkembangan tingkat pertumbuhan pendapatan masyaralat pedesaan (pola
mata pencaharian) seperti kesempatan kerja dan kesempatan berusaha yang
tentunya akan membuat masyarakat tergiur untuk terjun di sektor industri.
C. FAKTOR PENGHAMBAT PERUBAHAN SOSIAL
Dalam
dinamika masyarakat, selain terdapat faktor-faktor yang dapat mendorong bagi
berlangsungnya proses perubahan sosial, juga terdapat faktor-faktor yang dapat
menghalangi atau menghambatnya. Adapun faktor-faktor yang diperkirakan dapat
menghambat atau menghalangi bagi terjadinya proses perubahan sosial tersebut
antara lain:
1. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang lambat.
Salah satu aspek
pendorong terjadinya perubahan sosial budaya adalah majunya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek). Majunya perkembangan iptek menjadi indikator
pula majunya taraf perkembangan budaya suatu masyarakat. Sementara maju dan
tingginya taraf peradaban suatu masyarakat menyebabkan masyarakat tersebut akan
cepat atau mudah mengadakan adaptasi (penyesuaian) terhadap munculnya
perubahan-perubahan yang datang dari luar masyarakat yang bersangkutan. Oleh
karena itu, apabila di dalam suatu masyarakat terjadi hal yang sebaliknya,
yakni mengalami kelambanan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologinya, maka akan menyebabkan terhambatnya laju perubahan-perubahan
sosial budaya pada masyarakat yang bersangkutan.
2. Kurangnya
hubungan dengan masyarakat lain.
Adanya kehidupan
masyarakat yang tertutup, hingga menyebabkan setiap warganya sulit untuk
melakukan kontak atau hubungan dengan masyarakat lain, menyebabkan warga
masyarakat tersebut terasing dari dunia luar. Akibatnya, bahwa masyarakat
tersebut tidak dapat mengetahui perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada
masyarakat lain di luarnya. Jika hal tersebut tetap berlangsung, atau bahkan
tidak sepanjang masa maka akan menyebabkan kemunduran bagi masyarakat yang
bersangkutan, sebab mereka tidak memperoleh masukan-masukan misalnya saja
pengalaman dari kebudayaan lain, yang dapat memperkaya bagi kebudayaan yang
bersangkutan. Oleh karena itu, faktor ketertutupan atau kurangnya hubungan
dengan masyarakat atau kebudayaan lain, menjadi salah satu faktor yang dapat
menghambat atau menghalangi bagi proses perubahan sosial dan budaya di dalam
masyarakat.
3. Rasa
takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan.
Adanya kekhawatiran di
kalangan masyarakat akan terjadinya kegoyahan seandainya terjadi integrasi di
antara berbagai unsur-unsur kebudayaan, juga menjadi salah satu faktor lain
terhambatnya suatu proses perubahan sosial budaya. Memang harus diakui bahwa
tidak mungkin suatu proses integrasi di antara unsur-unsur kebudayaan itu akan
berlangsung secara damai dan sempurna, sebab biasanya unsur-unsur dari luar
dapat menggoyahkan proses integrasi tersebut, serta dapat menyebabkan pula
terjadinya perubahan-perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat.
4. Adat
dan kebiasaan.
Setiap masyarakat di
manapun tempatnya, pasti memiliki adat serta kebiasaan tertentu yang harus
ditaati dan diikuti oleh seluruh anggota masyarakat. Adat dan kebiasaan adalah
seperangkat norma-norma (aturan tidak tertulis) yang berfungsi sebagai pedo-man
bertingkah laku bagi seluruh anggota masyarakat. Adat biasanya berisi pola-pola
perilaku yang telah diyakini dan diterima oleh masyarakat secara turun-temurun,
bersifat kekal (abadi), dan oleh karena itu harus ditaati oleh seluruh anggota
masyarakat, serta bersifat mengikat. Artinya, apabila ada sebagian anggota
masyarakat yang tidak mengindahkan aturan adat maka akan mendapat sanksi yang
berat baik sanksi moral maupun sosial dari masyarakat.
Sedangkan kebiasaan
adalah perbuatan yang pantas dikerjakan maka diterima oleh masyarakat. Karena
pantas dikerjakan dan telah diterima oleh masyarakat, maka kebiasaan menjadi
perilaku yang diulang-ulang dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya
(secara turun-temurun) sehingga menjadi semacam aturan (norma) yang harus
diikuti oleh setiap anggota masyarakat. Meskipun tidak sekuat adat, norma
kebiasaan juga memiliki daya pengikat tertentu yang dapat menyebabkan setiap
anggota berperilaku sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.
Dengan demikian
dapatlah dibayangkan bahwa apabila dalam masyarakat tersebut muncul nilai
(budaya) serta kebiasaan-kebiasaan baru yang akan menggeser kebiasaan-kebiasaan
lama, apalagi sampai menggeser adat kebiasaan yang selama ini telah menjadi
pedoman serta aturan yang dipegang teguh secara turun-temurun, maka nilai serta
kebiasaan-kebiasaan baru tersebut akan ditentang, atau bahkan ditolaknya.
Misalnya nilai-nilai baru di masyarakat yang mengatakan bahwa upacara hajatan
dapat dilaksanakan kapan saja, karena pada hakikatnya semua hari dan bulan itu
baik sekalipun dilaksanakan di bulan Suro (Muharram). Sedangkan di Indonesia,
khususnya di kalangan masyarakat Jawa ada semacam keyakinan yang telah dipegang
teguh karena telah menjadi adat kebiasaan secara turun-temurun, ialah bahwa
menyelenggarakan acara hajatan di bulan Suro adalah suatu pantangan (dilarang),
sebab jika dilaksanakan akan mendatangkan mara bahaya (bencana), khususnya bagi
mereka yang tetap menyelenggarakannya. Dengan demikian, di kalangan masyarakat
Jawa yang percaya serta memegang secara teguh tradisi serta adat kebiasaan
semacam itu, tentu akan mengalami kesulitan untuk bisa merubah keyakinan yang
telah mendarah daging itu, meskipun dari luar angin perubahan telah bertiup
dengan kencangnya.
5. Adanya
kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat (vested interests)
Dalam setiap organisasi sosial yang mengenal sistem berlapis-lapisan, pasti akan ada sekelompok orang-orang yang menikmati kedudukan dalam suatu proses perubahan. Pada masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami masa transisi, misalnya saja dari otoritarianisme ke sistem demokrasi biasanya terdapat segolongan orang-orang yang merasa dirinya berjasa atas terjadinya perubahan-perubahan. Pada segolongan masyarakat yang berjasa itu biasanya akan selalu mengidentifikasikan diri dengan usaha serta jasa-jasanya tersebut, sehingga sulit sekali bagi mereka untuk melepaskan kedudukan yang baru diperolehnya itu dalam suatu proses perubahan. Hal inilah yang juga dirasa menjadi salah satu faktor penghalang berikutnya bagi jalannya suatu proses perubahan.
Dalam setiap organisasi sosial yang mengenal sistem berlapis-lapisan, pasti akan ada sekelompok orang-orang yang menikmati kedudukan dalam suatu proses perubahan. Pada masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami masa transisi, misalnya saja dari otoritarianisme ke sistem demokrasi biasanya terdapat segolongan orang-orang yang merasa dirinya berjasa atas terjadinya perubahan-perubahan. Pada segolongan masyarakat yang berjasa itu biasanya akan selalu mengidentifikasikan diri dengan usaha serta jasa-jasanya tersebut, sehingga sulit sekali bagi mereka untuk melepaskan kedudukan yang baru diperolehnya itu dalam suatu proses perubahan. Hal inilah yang juga dirasa menjadi salah satu faktor penghalang berikutnya bagi jalannya suatu proses perubahan.
6. Prasangka
terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap tertutup.
Adanya sikap semacam
itu, misalnya dapat saja dialami oleh suatu masyarakat (bangsa) yang pada masa
lalunya pernah mengalami pengalaman pahit selama berinteraksi dengan masyarakat
(bangsa) lainnya di dunia. Sebut saja misalnya pada masyarakat-masyarakat yang
dahulunya pernah mengalami proses penjajahan oleh bangsa lain, seperti
bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika oleh penjajahan bangsa Barat. Mereka
tidak akan melupakan begitu saja atas berbagai pengalaman pahit yang pernah
diterimanya pada masa lalu, dan hal tersebut ternyata berdampak pada munculnya
kecurigaan di kalangan bangsa-bangsa yang pernah dijajah itu terhadap sesuatu
atau apa-apa yang datang dari barat. Selanjutnya, karena secara kebetulan
unsur-unsur baru yang masuk itu juga kebanyakan berasal dari negara-negara
barat, maka prasangka-prasangka (negatif) juga tetap ada, terutama akibat rasa
kekawatiran mereka akan munculnya penjajahan kembali yang masuk melalui unsur-unsur
budaya tersebut. Dengan demikian munculnya prasangka serta adanya sikap menolak
terhadap kebudayaan asing juga akan menjadi salah satu faktor penghambat lain
bagi jalannya proses perubahan sosial budaya suatu masyarakat..
7. Nilai
bahwa hidup ini buruk dan tidak mungkin dapat diperbaiki.
Di kalangan masyarakat
terdapat kepercayaan bahwa hidup di dunia itu tidak perlu ngoyo (terlalu
berambisi) sebab baik buruknya suatu kehidupan (nasib/takdir) itu sudah ada
yang mengatur, oleh karena itu harus dijalaninya secara wajar. Sementara jika
manusia diberikan kehidupan yang jelek, maka harus diterimanya pula apa adanya
(nrimo ing pandum) serta dengan penuh kepasrahan karena memang nasib yang harus
diterimanya demikian. Dengan demikian manusia tidak perlu repot-repot berusaha,
apalagi sampai ngoyo, karena tidak ada gunanya sebab hasilnya pasti akan jelek,
sebab sudah ditakdirkan jelek. Adanya keyakinan dari masyarakat untuk selalu
menerima setiap nasib yang diberikan Tuhan kepada manusia dengan penuh
kepasrahan, termasuk bila harus menerima nasib (takdir) buruk, menyebabkan
kehidupan masyarakat menjadi bersifat pesimistis dan statis, atau bahkan
fatalistik. Adanya pemahaman yang keliru tentang nasib manusia itulah, sehingga
di dalam masyarakat tidak muncul dinamisasi, yang berarti tidak ada perubahan,
atau jika ada perubahan maka hal tersebut akan berjalan secara lambat.
8. Hambatan
yang bersifat ideologis.
Adanya faktor
penghambat yang bersifat ideologis, karena biasanya setiap usaha mengadakan
perubahan-perubahan pada unsur-unsur kebudayaan rohaniah, akan diartikan
sebagai suatu usaha yang berlawanan dengan ideologi masyarakat yang merupakan
dasar bagi terciptanya integrasi dari masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena
itu faktor-faktor yang bersifat ideologis akan tetap menjadi perintang bagi
jalannya perubahan-perubahan.
9. Sikap
masyarakat yang sangat tradisional.
Apabila di dalam
masyarakat muncul suatu sikap mengagungagungkan akan tradisi masa lampau serta
menganggap bahwa tradisi tersebut secara mutlak tak dapat dirubah, maka sudah
dapat dipastikan bahwa pada masya-rakat tersebut akan mengalami
hambatan-hambatan dalam proses perubahan sosial budayanya. Keadaan tersebut
akan menjadi lebih parah lagi apabila golongan yang berkuasa dalam masyarakat
juga berasal dari golongan yang bersifat konservatif, yakni suatu golongan yang
notabenenya adalah penentang atau anti terhadap perubahan-perubahan.
Selain yang sudah disebutkan di atas, dilihat dari segi intern (dari dalam
masyarakat yang mengalami perubahan), terjadinya proses perubahan sosial juga
dapat terhambat oleh karena adanya faktor-faktor sebagai berikut:
a. Adanya
sikap masyarakat yang ragu-ragu, bahkan curiga terhadap sesuatu yang baru yang
dianggap dapat berdampak negatif.
b. Adanya
kecenderungan dari masyarakat untuk menyukai dan mempertahankan sesuatu hal
yang lama.
c. Kurangnya
pengetahuan dan pendidikan masyarakat terhadap sesuatu yang baru.
Faktor
penghambat perubahan sosial (Menurut Teori Konflik) Teori Konflik merupakan
teori yang lahir untuk menggantikan fungsionalisme-struktural. Tidak lama
setelah memegang posisi memimpin dalam teori sosiologis,
fungsionalisme-struktural segera mendapatkan serangan yang terus meningkat
mulai dari beberapa segi, yaitu: fungsionalisme struktural dituduh secara
politis konservatif, tidak mampu menangani perubahan sosial karena berfokus
pada struktur-struktur yang statis dan tidak mampu menganalisis konflik sosial
secara memadai.
Menurut
Stephen P. Robbins, konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang berlaku
akibat adanya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan diantara dua pihak
atau lebih dimana masing-masing komponen masyarakat memiliki kepentingan dan
tujuan sendiri-sendiri dan tidak mau bekerja sama. Dalam pandangan hubungan
manusia (The Human Relation View), konflik merupakan peristiwa wajar yang
terjadi dimasyarakat. Konflik tidak dapat dihindari, karena pada dasarnya
setiap indiviu atau kelompok memang hidup dalam perbedaan.
Selain
pandangan The Human Relation View, juga terdapat pandangan lain, yaitu
pandangan Interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini menyebutkan,
bahwa konflik dapat mendorong dinamika/perubahan sosial. Oleh karena itu,
menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara
berkelanjutan sehingga akan terus menyemangati individu dan masyarakat untuk
berkembang, kritis dan kreatif. Berikut beberapa faktor penghambat perubahan
sosial dalam kaitannya dengan teori konflik.
a. Tindakan Kejahatan (Kriminalitas)
Masyarakat
saat ini yang hidup serba kompleks telah memunculkan beragam masalah sosial,
salah satunya adalah kriminalitas. Kriminalitas atau tindak kejahatan adalah
tingkah laku yang melanggar hukum dan norma sosial yang berlaku dimasyarakat.
Bahkan dapat dikatakan kriminalitas adalah muara dari problematika perubahan sosial
yang harus siap ditanggung baik dalam jangka waktu lambat ataupun cepat. Hal
ini kerena terjadinya tindakan kriminal secara sosiologis terkait dengan
masalah jumlah penduduk, industri, pengangguran dan jumlah kemiskinan dalam
masyarakat. Sedangkan Kartini Kartono menjelaskan dalam banyak kasus, kejahatan
terjadi karena banyak faktor seperti faktor biologis, sosiologis, ekonomis,
mental, fisik dan kehidupan pribadi.
Kejahatan
akan senantiasa ada dan terus mengikuti perubahan zaman. Perkembangan masyarakat
yang semakin maju, menyebabkan kejahatanpun ikut mengalami perubahan baik pada
sisi bentuk maupun modusnya. Oleh karena itu sulit bagi suatu negara untuk
melenyapkan kejahatan secara total. Emile Durkheim mengatakan bahwa kejahatan
adalah suatu gejala normal didalam setiap masyarakat yang bercirikan
heterogenitas dan perubahan sosial oleh karena itu tidak mungkin kejahatan
dapat dimusnahkan sampai tuntas.
Terdapat
banyak pendapat yang menyatakan bahwa perubahan sosial dapat menyebabkan
kriminalitas, hal tersebut karena perubahan tersebut dapat membawa seseorang
untuk melakukan tindakan kejahatan yang dipengaruhi oleh keinginan-keinginan
yang tidak terpenuhi atau terpaksakan dalam kehidupannya. Namun, disini juga
perlu disadari bahwa perubahan sosial juga merupakan suatu proses menuju ke
suatu keadaan yang lebih baik (harmoni), namun kehidupan harmoni tersebut juga
tidak akan tercapai apabila selalu terjadi kejahatan/kriminalitas dimana-mana.
Disini artinya adalah, kriminalitas adalah salah satu faktor yang juga
menghambat perubahan sosial (menuju kehidupan yang lebih baik) bukan hanya
sebagai imbas dari perubahan sosial. Hal tersebut karena setiap orang memiliki
pandangan yang berbeda mengenai faktor yang mempengaruhi perubahan sosial.
b. Pertentangan
Pertentangan
masyarakat berpeluang besar menjadi sebab perubahan sosial.
Pertentangan-pertentangan tersebut mungkin dapat terjadi antara individu dengan
kelompok atau kelompok dengan kelompok yang dapat menimbulkan perubahan
sosial.16 Pertentangan antara kelompok mungkin dapat terjadi antara generasi
tua dan generasi muda. Pertentangan demikian itu kerap kali terjadi, terutama
pada masyarakat yang tengan berkembang dari tahap tradisional menuju
modernitas. Generasi muda yang belum terbentuk kepribadiannya, lebih mudah
menerima unsur-unsur kebudayaan asing yang dalam beberapa hal mempunyai taraf
yang lebih tinggi. Berbeda dengan golongan tua yang masih mempertahankan
pemikiran konservatifnya dan cenderung sangat protektif dalam menghadapi segala
perubahan. Keadaan demikian menimbulkan perubahan-perubahan tertentu dalam
masyarakat, misalnya pergaulan yang lebih bebas antara wanita dan pria atau
kedudukan mereka yang kian sederajat didalam masyarakat dan lain sebagainya.
c. Terjadinya Pemberontakan (Revolusi)
Terjadinya
pemberontakan atau revolusi didalam tubuh masyarakat itu sendiri dapat terjadi
karena adanya pemberontakan atau perlawanan besar-besaran dan tiba-tiba dengan
menggunakan kekerasan oleh kekuatan-kekuatan dalam masyarakat terhadap kondisi
yang ada. Terjadinya pemberontakan diawali dengan adanya ketidakpuasan sebagian
masyarakat. Ketidakpuasan ini diarahkan pada sistem kekuasaan yang dianggapnya
tidak cocok sehingga mendorong untuk keluar dan membuat sistem kekuasaan yang
berbeda. Rezim yang bertindak despotik atau lalim menimbulkan ketidakadilan
dimasyarakat sehingga mendorong sebagian masyarakat yang merasa tidak
diuntungkan melakukan pemberontakan. Situasi dan kondisi ini memunculkan
revolusi sebagai wujud dari pemberontakan. Adanya revolusi akan membawa
perubahan-perubahan besar dalam tubuh masyarakat. Salah satu contoh dari bentuk
revolusi yang meletus pada Oktober 1917 di Rusia telah menyulut terjadinya
perubahan-perubahan besar yang mula-mula mempunyai bentuk kerajaan absolut
berubah menjadi diktator proletariat yang dilandasakan pada doktrin Marxis.
Dimana segenap lembaga kemasyarakatan, mulai dari bentuk negara sampai keluarga
batih mengalami perubahan-perubahan yang mendasar.
d. Konflik SARA
Menurut
pengertian, SARA, yaitu suatu kekerasan yang dilatarbelakangi sentimental antar
suku, agama, ras atau golongan tertentu. Konflik SARA biasanya tejadi karena
adanya egoisitas seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan dengan jalan
kekerasan. Dalam pengertian lain SARA dapat disebut diskriminasi yang merujuk
kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, dimana layanan ini
dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat
manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk saling
membeda-bedakan. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena
karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran
politik, kondisi fisik atau karateristik lain maka hal tersebut yang diduga
sebagai dasar utama dari tindakan diskriminasi Konflik SARA pada dasarnya lahir
dari sikap Primordialisme, yaitu suatu paham yang menganggap bahwa kelompoknya
lebih tinggi dan lebih hebat dari kelompok lain. Paham tersebut mengakibatkan
anggota-anggotanya lebih menghormati kelompoknya sendiri dibandingkan dengan
kelompok lain. Primordialisme dapat berdampak positif dan juga dapat berdampak
negative. Dampak positifnya, lebih mengeratkan hubungan antar
anggota-anggotanya, tetapi dampak negatif dari sikap seperti ini dapat membuat
individu atau kelompok melihat kelompok lain lebih rendah dan hina dihadapan
mereka, serta segala halnya harus seperti yang mereka lakukan. Konflik yang
berbau unsur SARA biasanya diakibatkan oleh permusuhan turun temurun yag diatur
oleh sistem tradisional yang meliputi dendam yang dipelihara oleh nenek moyang
yang lalu diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Sumber :
1.
Sunarto,Kamanto.
1993. Pengantar Sosiologi. Edisi Ke-3.
Depok : Fakultas Ekonomi UI.
2.
Donatus
Patty.2005. Pengantar Sosiologi. Kupang: CV Kasih Indah.
3.
Ritzer, George.2012
Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terkakir Psotmodern.
Yogyakarta : Pustaka Belajar.
4.
Mulyadi, yad. 2014.
Sosiologi SMA Kelas XII. Jakarta timur : Yudhistira.
Komentar
Posting Komentar