Berbagai Kearifan Lokal di Indonesia dan Pengaruh Globalisasi, Arus Informasi, dan Teknologi dalam Keragaman
A. Berbagai Kearifan Lokal di Indonesia
1. Bali
Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan.
Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.
Keunikan Bali yang lain bisa dilihat lewat bagaimana manusia Bali melakukan pembinaan kekerabatan secara lahir dan batin. Manusia Bali begitu taat untuk tetap ingat dengan asal muasal darimana dirinya berasal. Hal inilah kemudian melahirkan berbagai golongan di masyarakatnya yang kini dikenal dengan wangsa atau soroh. Begitu banyak soroh yang berkembang di Bali dan mereka memiliki tempat pemujaan keluarga secara tersendiri.
Tatanan masyarakat berdasarkan soroh ini begitu kuat menyelimuti aktivitas kehidupan manusia Bali. Mereka tetap mempertahankan untuk melestarikan silsilah yang mereka miliki. Mereka dengan seksama dan teliti tetap menyimpan berbagai prasasti yang didalamnya berisi bagaimana silsilah sebuah keluarga Bali.
Beberapa soroh yang selama ini dikenal misalnya Warga Pande, Sangging, Bhujangga Wesnawa, Pasek, Dalem Tarukan, Tegeh Kori, Pulasari, Arya, Brahmana Wangsa, Bali Aga dan lainnya. Semuanya memiliki sejarah turun-temurun yang berbeda. Meski begitu, akhirnya mereka bertemu dalam siklus keturunan yang disebut Hyang Pasupati. Begitu unik dan menarik memahami kehidupan manusia Bali dalam kaitan mempertahankan garis leluhurnya tersebut. Sebagian kehidupan ritual mereka juga diabdikan untuk kepentingan pemujaan terhadap leluhur mereka.
a. Identifikasi Masyarakat Bali
Suku bangsa Bali merupakan kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan budayanya, kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran tersebut, namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi serta perbedaan setempat. Agama Hindhu yang telah lama terintegrasikan ke dalam masyarakat Bali, dirasakan juga sebagai unsur yang memperkuat adanya kesadaran kesatuan tersebut.
Perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa Hindhu di berbagai daerah di Bali dalam jaman Majapahit dulu, menyebabkan ada dua bentuk masyarakat Bali, yaitu masyarakat BaliAga dan masyarakat Bali Majapahit.
Masyarakat Bali Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa – Hindhu dari Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga pada umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Cempaga Sidatapa, pedawa, Tiga was, di Kabupaten Buleleng dan desa tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Orang Bali Majapahit yang pada umumnya diam didaerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling besar dari penduduk Bali.
Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa Indonesia. Dilihat dari sudut perbendaharaan kata dan strukturnya, maka bahasa Bali tak jauh berbeda dari bahsa Indonesia lainnya. Peninggalan prasasti zaman kuno menunjukkan adanya adanya suatu bahasa Bali kuno yang berbeda dari bahasa Bali sekarang. Bahasa Bali kuno tersebut disamping banyak mengandung bahsa Sansekrta, pada masa kemudiannya juga terpengaruh oleh bahasa Jawa Kuno dari jaman Majapahit, ialah jaman waktu pengaruh Jawa besar sekali kepada kebudayaan Bali.
b. Sistem Kemasyarakatan Orang Bali
1) Banjar
Merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagaman yang keramat. Didaerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang yang lahir di wilayah banjar tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat keanggotaannya tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di banjar itu. Orang dari wilayah lain atau lahir di wilayah lain dan kebetulan menetap di banjar bersangkutan dipersilakan untuk menjadi anggota(krama banjar) kalau yang bersangkutan menghendaki.
Pusat dari bale banjar adalah bale banjar, dimana warga banjar bertemu pada hari-hari yang tetap. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut kelian banjar. Ia dipilih dengan masa jabatab tertentu oleh warga banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dari banjar sebagai suatu komuniti, tapi juga lapangan kehidupan keagamaan. Kecuali itu ia juga harus memecahkan masalah yang menyangkut adat. Kadang kelian banjar juga mengurus hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
2) Subak
Subak di Bali seolah-olah lepas dari dari Banjar dan mempunyai kepala sendiri. Orang yang menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang yang menjadi anggota banjar. Warga subak adalah pemilik atau para penggarap sawah yang yang menerima air irigasinya dari dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua warga subak tadi hidup dalam suatu banjar. Sebaliknya ada seorang warga banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan mendapat air irigasi dari bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tersebtu akan menggabungkan diri dengan semua subak dimana ia mempunya sebidang sawah.
3) Sakeha
Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali, ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekaha. organisasi ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat sementara. Ada sekaha yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenan dengan desa, misalnya sekaha baris (perkumpulan tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya permanen, tapi ada juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan menanam), sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas dari organisasi banjar maupun desa.
c. Sistem Kasta
1) Brahmana
Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi seorang pendeta akan memilik sisinya, dimanasisya-sisya inilah yang akan memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggotasisya tersebut dan bersifat upacara besarakan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut. Dari segi nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana, biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama depan “Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, atau pun hanya menggunakan kata Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut dengangriya.
2) Ksatriya
Kasta ini merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih merasa abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan kasta ksatriya ini akan menggunakan nama “AnakAgung, DewaAgung, Tjokorda, dan ada juga yang menggunakan nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut dengan Puri.
3) Wesya
Masyarakat Bali yang berasal dari kasta ini merupakan orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan keturunan raja-raja terdahulu. Masyarakat yang berasal dari kasta ini biasanya merupakan keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit utama kerajaan, namun terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak rendah dari keturunan asalnya karena melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari segi nama kasta ini menggunakan nama seperti I GustiAgung, I GustiBagus, I GustiAyu, ataupun I Gusti. Dinama untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan Jero.
4) Sudra
Kasta Sudra merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan sosial yang paling rendah, dinama masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa. Sampai saat ini masyarakat yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari kasta Sudra akan menggunakan nama seperti berikut :
– Untuk anak pertama : Gede, Putu, Wayan.
– Untuk anak kedua :Kadek, Nyoman, Nengah
– Untuk anak ketiga :Komang
– Untuk anak keempat :Ketut
Dan dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan umah.
2. Jawa
Dalam menjaga keseimbangan dengan lingkungannya masyarakat melakukan norma-norma, nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah berlaku turun temurun yang merupakan kearifan lokal setempat. Beberapa contoh kearifan lokal yang ada pada masyarakat jawa adalah sebagai berikut :
a. Kearifan Lokal Di Bidang Pertanian
1) Pranoto Mongso
Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para tani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Berkaitan dengan kearifan tradisional maka pranoto mongso ini memberikan arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung seperti misalnya air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat menjaga keseimbangannya.
Urut-urutan pranoto mongso menurut Sastro Yuwono adalah sebagai berikut :
i. Kasa berumur 41 hari (22 Juni – 1 Agustus). Para petani membakar dami yang tertinggal di sawah dan di masa ini dimulai menanam polowijo.
ii. Karo berumur 23 hari (2 – 24 Agustus). Polowijo mulai tumbuh, pohon randu dan mangga mulai bersemi, tanah mulai retak/berlubang, suasana kering dan panas.
iii. Katiga/katelu berumur 24 hari (25 Agustus-17 September). Sumur-sumur mulai kering dan anin yang berdebu. Tanah tidak dapat ditanami (jika tanpa irigasi) karena tidak ada air dan panas. Palawija mulai panen.
iv. Kapat berumur 25 hari (18 September -12 Oktober) Musim kemarau, para petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi gogo, pohon kapuk mulai berbuah
v. Kalima berumur 27 hari (13 Oktober – 8 Nopember). Mulai ada hujan, petani mulai membetulkan sawah dan membuat pengairan di pinggir sawah, mulai menyebar padi gogo, pohon asam berdaun muda.
vi. Kanem berumur 43 hari (9 Nopember – 21 Desember). Musim orang membajak sawah, petani mulai pekerjaannya di sawah, petani mulai menyebar bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan.
vii. Kapitu berumur 43 hari (22 Desember – 2 Februari ). Para petani mulai menanam padi, banyak hujan, banyak sungai yang banjir, angin kencang
viii. Kawolu berumur 26 hari, tiap 4 tahun sekali berumur 27 hari (3 Februari-28 Februari Padi mulai hijau, uret mulai banyak
ix. Kasanga berumur 25 hari (1 - 25 Maret). Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, tonggeret mulai bersuara
x. Kasepuluh berumur 24 hari (26 Maret-18 April). Padi mulai menguning, mulai panen, banyak hewan bunting
xi. Desta berumur 23 hari (19 April-11Mei). Petani mulai panen raya
xii. Sadha berumur 41 hari (12 Mei – 21 Juni) . Petani mulai menjemur padi dan memasukkannya ke lumbung.
Dengan adanya pemanasan global sekarang ini yang juga mempengaruhi pergeseran musim hujan, tentunya akan mempengaruhi masa-masa tanam petani. Namun demikian pranoto mongso ini tetap menjadi arahan petani dalam mempersiapkan diri untuk mulai bercocok tanam. Berkaitan dengan tantangan maka pemanasan global juga menjadi tantangan petani dalam melaksanakan pranoto mongso sebagai suatu kearifan lokal di Jawa.
2) Nyabuk Gunung
Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit sumbing dan sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor.
b. Mitos Sebagai Kearifan Lokal dan pelestarian Lingkungan
Mitos menjadi bagian dari sistem kepercayaan masyarakat. Sistem kepercayaan yang dimiliki suatu masyarakat tentu akan berpengaruh pula pada pola pikir dan tingkah laku yang nantinya berujung pada cara-cara pengelolaan lingkungan.
1) Babad Tanah Jawa
Dalam penciptaan peradaban jawa tidak lepas dari mitos dan alam. Diceritakan menurut Babad Tanah jawa, dahulu tanah jawa berupa hutan rimba yang dihuni oleh sekelompok makluk halus. Kemudian manusia datang dan membangun peradaban di Pulau Jawa. Manusia tersebut adalah seorang pendeta dari kerajaan arab yang mendapatkan titah dari rajanya untuk membangun peradaban di tempat tersebut, Ketika ingin menjalankan tugasnya, pendeta itu didatangi Semar, tokoh wayang yang lucu dan bijak, sebagai pemimpin dari makhluk halus di jawa. Semar merasa keberatan dengan kedatangan pendeta itu karena anak cucunya takut dengan ilmu dan agama yang dia miliki. Namun pendeta tersebut tidak akan menggangu mereka, jika mereka juga tidak menggangu manusia. Pendeta tersebut memberikan penawaran kepada Semar untuk memerintahkan anak cucunya pindah ke gunung dan laut selatan. Semar pun juga meminta kepada pendeta untuk memperingatkan manusia untuk jangan merusak gunung dan laut selatan, karena itu adalah tempat tinggal para penunggu tanah jawa. Jika manusia merusak tempat tinggalnya, maka mereka akan menciptakn bencana sebagai balasan kepada manusia yang merusak alam mereka. Di ceritakan perjanjian antara pendeta dengan semar menemui kata sepakat sampai Pulau Jawa tumbuh peradabannya
Terlepas dari benar tidaknya, mitos yang diceritakan dalam Babad Tanah Jawa tersebut memberikan pelajaran kepada masyarakat bagaimana sikap manusia terhadap alam. Meskipun dalam cerita tersebut terdapat unsur gaib, namun masyarakat terutama yang bersifat tradisional relatif dapat mengikuti perintah yang secara tersirat dalam cerita tersebut.
Bentuk-bentuk penghormatan kepada gunung dan hutan sebagai ruang yang diyakini sebagai tempat yang “berpenghuni” dalam arti terdapat kekuatan gaib atau istilahnya angker, ternyata menciptakan cara berperilaku yang tidak jauh dengan prinsip konservasi. Dalam prinsip konservasi yang dibutuhkan adalah rasa saling menghormati dan menjaga alam. Masyarakat cenderung akan berpikir ulang jika melakukan kegiatan di tempat-tempat yang dianggap angker. Mereka akan menjaga dan menghormati tempat-tempat tersebut. Meskipun bentuk dari penghormatan tersebut seringkali berupa ritual-ritual tertentu, namun dalam hal ini mampu menciptakan sikap bijaksana untuk menghargai alam. Suatu tempat yang dianggap angker membuat aktifitas manusia jarang dilakukan di tempat tersebut. Hal ini justru dapat menjaga keseimbangan ekosistem karena kurangnya aktifitas manusia.
2) Mitos Tentang Hewan Keramat
Mitos juga berlaku pada hewan-hewan tertentu yang dianggap keramat, seperti ular, kucing, burung gagak, burung hantu, dan hewan lainnya. Dengan adanya mitos ini kelangsungan hidup hewan tersebut lebih terjamin, karena masyarakat yang menganggap keramat hewan ini. Mengingat satwa adalah bagian dari jaringan ekosistem yang turut pula memainkan perannya dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Sebagai contoh mitos Dewi Sri yang menjelma sebagai ular sawah. Mitos ini ada jauh sebelum ilmu pengetahuan tentang lingkungan berkembang. Masyarakat petani mengkeramatkan ular sawah karena dianggap sebagai jelmaan dari Dewi Sri yang membawa keberkahan dan kesuburan sawah. Lewat kaca ilmu pengetahuan adanya ular sawah tersebut akan membantu petani dalam mengendalikan hama terutama tikus sawah. Kotoranya juga dapat menjadi pupuk yang menjaga kesuburan tanah.
3) Sesajen
Dalam masyarakat jawa juga dikenal dengan sesajen. Sesajen meupakan seperangkat persembahan yang digunakan untuk menghormati penunggu tempat-tempat tertentu, seperti pohon besar, muara sungai, dan lain-lain. Pohon yang diberi sesajen menghalangi seseorang untuk menebang pohon tersebut. Dalam hal ini berlaku asumsi fungsi manifes dan laten dari adanya sesajen tersebut. Namun dapat dilihat dengan adanya sesajen tersebut akan menghindari terjadinya penebangan pohon.
4) Mitos Hari Baik
Masyarakat jawa juga mengenal hari baik, dimana di hari tersebut masyarakat dapat melakukan pekerjaannya. Dalam proses penanaman padi juga mengenal hari yang baik, kapan melakukan penanaman dan kapan memetik hasil panen. Hal ini terjadi pengaturan waktu penanaman secara tidak langsung. Dengan melihat masyarakat petani di jaman sekarang yang menggunakan pestisida dan pupuk buatan, hal tersebut dapat dikontrol dengan adanya penentuan hari baik tersebut. Tanah juga akan mempunyai waktu untuk memperbaiki unsur hara yang terkandung di dalamnya. Hal ini juga dapat mengendalikan penggunaan pestisida dan pupuk buatan secara berlebihan.
3. Baduy
Baduy, adalah nama dari sebuah suku yang berada di Provinsi Banten. Mereka masih menjaga erat nilai dan norma serta tradisi atau adat istiadat masyarakatnya. Suku Baduy termasuk salah satu suku yang terisolir yang ada di Indonesia. Masyarakat Baduy sengaja mengasingkan diri. Mereka hidup mandiri dengan tidak mengharapkan bantuan dari orang luar. Mereka mengasingkan diri dan menutup diri dengan tujuan menghindar dari pengaruh budaya luar yang akan masuk.
Suku Baduy sangat menjaga kelestarian alam yang mereka huni. Mereka selalu menjaga dan merawat alam supaya dapat terus dikelola dengan baik. Efeknya, alam memberikan hasil panen yang cukup dan melimpah untuk menghidupi kebutuhan hidup mereka. Mereka tidak ingin merusak kelestarian alam yang ada.
Ditengah-tengah gempuran modernitas dan globalisasi saat ini, nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya. Kearifan lokal dimasyarakat Baduy memberikan banyak pelajaran berharga untuk masyarakat kita yang sudah banyak sekali termakan oleh modernitas. Oleh karena itu banyak sekali baik individu atau kelompok yang datang dan berkunjung ke suku Baduy.
Wisatawan berkunjung untuk melihat keindahan alam ataupun belajar akan nilai-nilai kearifan lokal yang ada dimasyarakat suku Baduy. Hebatnya lagi adalah kemampuan suku Baduy untuk bisa mempertahankan kebudayaanya dari kebudayaan-kebudayaan luar yang masuk melalui para pengunjung yang datang.
Baduy terletak di Desa Kanekes terletak di Gunung Kandeng yang sebagian wilayahnya adalah hutan. Wilayah ini termasuk ke dalam Propinsi Banten tepatnya di Kabupaten Lebak Leuwi Damar. Kelompok masyarakat Baduy terbagi menjadi dua, yaitu Baduy Luar, dan Baduy Dalam. Keduanya berada di Desa Kanekes hanya saja ada beberapa aturan adat yang berbeda.
Kondisi alam Desa Kanekes ini terdiri dari bukir-bukit yang tersusun berjajar, sehingga untuk berjalan dari satu desa ke desa yang lainnya membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak. Belum lagi jika berkunjung saat musim hujan. Jalan menjadi sangat licin dan perlu berhati-hati.
Masyarakat Baduy ini sangat menjaga budaya dan adat istiadat yang diwariskan nenek moyangnya sehingga banyak sekali pantangan-pantangannya dengan alasan untuk menjaga alam atau pun menjaga tradisi seperti halnya, dilarang menggunakan trasportasi, menggunakan listrik, menggunakan elektronik, menggunakan sabun, odol dsb. Masyarakat Baduy sangat menjungjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal masyarakatnya.
Sistem ekonomi Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup. Artinya aktivitas ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan diproduksi serta dikonsumsi dilingkungan Baduy sendiri. Mata pencaharian mereka pada umumnya adalah bertani atau bercocok tanam. Adapula yang bekerja di hutan untuk mencari madu.
Hasil kerja mereka kemas dengan alat secukupnya dan dijual ke kota. Mungkin tidak jarang orang-orang yang berada di Jakarta, Bogor, Tanggerang dsb menemukan masyarakat Baduy menjual madunya atau kain tenunnya. Sementara wanita suku Baduy bekerja di rumah seperti menenun kain, selendang, sarung, gantungan serta kerajinan lainnya seperti membuat tas dari serat akar-akar pohon. Wanita Baduy sendiri diwajibkan untuk memiliki keahlian menenun sebagai bukti bahwa dirinya sudah cocok untuk dipinang.
Nilai-nilai kearifan masyarakat Baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi dalam kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan primernya. Bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang ada dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia.
Masyarakat Baduy memupuk tanamannya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik. Sebuah nilai kearifan lokal masyarakat Baduy yang tidak mau merusak alam dengan menggunakan bahan kimia. Berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang menggunakan pupuk kimia dengan tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat, tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia dalam pupuk yang digunakan. Selain itu dalam menanggulangi hama padi, masyarakat Baduy memilih mengusir daripada membunuh.
Dalam bertani, mereka selalu menjaga keselarasan dengan alam, bukannya melawan alam. Maka dari itu, dalam penanggulangan hama padi huma, masyarakat Baduy menggunakan racikan biopestisida dan rawun pare daripada pestisida pabrikan yang dianggap dapat meracuni dan merusak lingkungan.
Upaya mengusir hama padi huma tersebut tampaknya cukup berhasil. Buktinya, kejadian puso panen padi huma akibat gangguan hama sangat jarang terjadi di Baduy. Mengapa demikian? Pasalnya, berbagai tumbuhan untuk biopestisida atau rawun pare orang Baduy dikenal secara ilmiah (etik) termasuk kategori tumbuhan pengusir hama (repellent).
Kehidupan mereka yang sederhana membuat mereka tidak terlalu mementingkan harta, yang penting uang yang mereka miliki cukup untuk makan dan kebutuhuan penting lainya. Sebuah nilai kearifan lokal yang sekarang ini jarang bisa ditemui lagi mengingat sekarang ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa uang adalah segalanya dan uang adalah raja yang harus mereka cari dan kumpulkan sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan hidup mereka.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu’unan (kepu’unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah sembilan orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro dua belas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.
Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung. Prinsip kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip hidup sehari-hari.
Masyarakat Baduy sangat percaya bahwa segala sesuatu di alam ini telah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Oleh karenanya, sebagai manusia yang juga diciptakan, manusia tidak memiliki kepatutan untuk merusak seperti memotong atau menyambung. Konsep hidup yang diserahkan pada gagasan natural ini jelas memperkuat masyarakat Baduy secara umum bahwa mereka dilahirkan untuk menjaga stabilitas alam agar tetap seimbang.
Kesederhanaan hidup ini adalah cara mereka untuk “bersatu” dengan alam. Pikukuh yang menjadi pegangan hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan tak boleh diubah.
B. Pengaruh Globalisasi, Arus Informasi, dan Teknologi dalam Keragaman
Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi mempercepat akselarasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat. Globalisasi juga menciptakan tantangan dan masalah baru yang harus dipecahkan dalam upaya memanfaatkannya untuk kepentingan kehidupan. Globalisasi sendiri merupakan istilah yang muncul sekitar 30 tahun yang lalu. Dan mulai populer sebagai ideologi baru sekitar 20 tahun terakhir. Sebagai istilah, globalisasi sangat mudah diterima dan dikenal seluruh masyarakat di dunia. Globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi hingga mampu mengubah dunia secara mendasar.
Proses perkembangan globalisasi pada awalnya ditandai dengan kemajuan dibidang teknologi informasi dan komunikasi. Bidang tersebut merupakan penggerak globalisasi. Dari kemajuan bidang ini kemudian mempengaruhi sektor-sektor lain dalam kehidupan, seperti bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Contoh sederhana dengan teknologi internet, parabola, dan TV, orang dari belahan bumi manapun akan dapat mengakses berita dari belahan dunia yang lain secara cepat. Hal ini akan terjadi interaksi antar masyarakat dunia secara luas, yang akhirnya akan mempengaruhi satu sama lain terutama pada kebudayaan daerah, seperti kebudayaan gotong royong, menjenguk tetangga sakit, dan lain-lain. Globalisasi juga berpengaruh terhadap pemuda dalam kehidupan sehari-hari, seperti budaya berpakaian, gaya rambut, dan sebagainya.
Adanya globalisasi menimbulkan berbagai masalah terhadap eksistensi kebudayaan daerah, salah satunya adalah terjadinya penurunan rasa cinta terhadap kebudayaan yang merupakan jati diri suatu bangsa, erosi nilai-nilai budaya, terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya berkembang menjadi budaya massa, hilangnya kepercayaan diri, gaya hidup yang kebarat-baratan, dan hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong. Hal tersebut terjadi karena tergerus oleh perkembanagn teknologi dan informasi yang canggih.
Globalisasi, sudah mulai terasa sejak akhir abad ke-20, telah membuat masyarakat dunia, termasuk bangsa Indonesia harus bersiap-siap menerima kenyataan masuknya pengaruh luar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satu aspek yang terpengaruh adalah kebudayaan. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (value) yang dianut masyarakat atau persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang pesat, hal ini karena dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh akses komunikasi dan berita.
Namun, hal ini justru bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah penting dalam globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dikuasai oleh negara-negara maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju. Akibatnya, negara-negara berkembang seperti Indonesia selalu khawatir akan tertinggal dalam arus globalisasi dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan termasuk kesenian kita. Komunikasi dan transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa. Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah pada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh.
Proses saling memengaruhi adalah gejala wajar dalam interaksi antar masyarakat. Melalui interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia maupun kelompok masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah mengalami proses dipengaruhi dan mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan sifat penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak akan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senatiasa berubah.
Pada hakekatnya bangsa Indonesia, juga bangsa lain, berkembang karena adanya pengaruh-pengaruh luar. Kemajuan bisa dihasilkan oleh interaksi dengan pihak luar, hal inilah yang terjadi dalam proses globalisasi. Oleh karena itu, globalisasi bukan hanya soal ekonomi, namun juga terkait dengan masalah atau isu makna budaya dimana nilai dan makna yang terlekat didalamnya masih tetap berarti. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal, seperti keanekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah geografisnya. keanekaragaman masyarakat Indonesia dapat dicerminkan pula dalam berbagai ekspresi keseniannya. Dengan kata lain, dapat dikatakan pula bahwa berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dapat mengembangkan keseniannya yang sangat khas. Kesenian yang dikembangkannya itu menjadi model-model pengetahuan dalam masyarakat.
Perubahan budaya yang terjadi dalam masyarakat tradisional, yakni perubahan dari masyarakat yang tertutup menjadi masyarkat yang lebih terbuka, dari nilai-nilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma sosial merupakan salah satu dampak dari adanya globalisasi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mampu mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa. Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah pada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh.
Misalnya dalam bidang hiburan massa, globalisasi itu sangat terasa. Setiap hari kita bisa menonton film di tv dari negara-negara maju di seluruh dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea,dll. Sementara itu kesenian-kesenian populer lainnya yang tersaji dalam kaset, CD, DVD yang berasal dari manca negara pun makin marak beredar di tengah-tengah kita. Hal ini menunjukkan betapa negara-negara penguasa teknologi mutakhir telah berhasil memegang kendali dalam globalisasi budaya khususnya di negara ketiga. Peristiwa transkultur seperti itu mau tidak mau akan berpengaruh terhadap keberadaan kesenian kita. Padahal kesenian tradisional kita merupakan bagian dari khasanah kebudayaan nasional yang perlu dijaga kelestariannya.
Dengan globalisasi mau tidak mau akan membuat makin tersisihnya kesenian tradisional Indonesia dari kehidupan masyarakat Indonesia yang syarat akan pemaknaan dalam masyarakat Indonesia. Misalnya, bentuk-bentuk ekspresi kesenian etnis Indonesia, baik rakyat maupun istana, selalu berkaitan erat dengan ritual masyarakat pertanian. Dengan datangnya perubahan sosial yang hadir sebagai akibat proses industrialisasi dan sistem ekonomi pasar, dan globalisasi informasi, maka makna kesenian kita pun mulai bergeser ke arah kesenian yang berdimensi komersial. Kesenian-kesenian yang bersifat ritual mulai tersingkir dan kehilangan fungsinya. Sekalipun demikian, bukan berarti semua kesenian tradisional kita lenyap begitu saya. Ada berbagai kesenian yang masih menunjukkan eksistensinya, bahkan secar kreatif terus berkembang tanpa harus tertindas proses modernisasi.
Pesatnya laju teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi saran difusi budaya yang ampuh, sekaligus juga sarana alternatif pilihan hiburan yang beragam bagi masyarakat luas. Akibatnya, masyarakat menjadi tidak tertarik lagi menikmati kesenian tradisional yang sebelumnya akrab dengan kehidupan mereka. Misalnya, kesenian wayang orang Bharata di gedung wayang orang Bharata Jakarta yang kini tampak sepi seolah-olah tak ada pengunjungnya. Namun, ada pula kesenian yang mampu beradaptasi dan mentransformasikan diri dengan teknologi komunikasi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat. Misalnya seni ketoprak yang dipopulerkan dilayar kaca oleh kelompok Srimulat.
Arus globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh terhadap budaya bangsa Indonesia. Derasnya arus informasi dan telekomunikasi ternyata menimbulkan sebuah kecenderungan yang mengarah pada memudarnya nilai-nilai pelestarian budaya. Buadaya Indonesia yang dulunya ramah tamah, gotong royong, sopan berganti dengan budaya Barat. Misalnya pergaulan bebas pada remaja. Dengan meniru budaya barat yang mengenakan pakaian minim dan ketat dengan memamerkan bagian tubuh tertentu, seks bebas, dan penggunaan narkoba. Selain itu, dulu anak-anak remaja masih banyak yang berminat belajar kesenian-kesenian daerah setiap harinya.
Saat ini, ketika perkembangan teknologi semakin maju, kebudayaan daerah tersebut semakin lenyap di masyarakat. Bahkan hanya dapat disaksikan di TV atau di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) saja. Padahal jika dikelola dengan baik kebudayaan-kebudayaan tersebut dapat menjadi pariwisata budaya yang menghasilkan pendapatan baik bagi pemerintah pusat maupun daerah. Dan juga menjadi ladang pekerjaan bagi masyarakat sekitar.
Hal lain yang merupakan pengaruh globalisasi adalah penggunaan bahasa yang baik dan benar. Anak muda sekarang lebih suka menggunakan bahsa Indonesia dengan dialek Jakarta seperti penyebutan kata gue (saya) dan lu (kamu). Selain itu, kita juga sering mendengar anak muda yang berbicara bahasa Indonesia dicampur-campur dengan bahasa Inggris, seperti “OK, no problem, dan yes”, bahkan kata-kata makian (umpatan) sekalipun. Hal-hal tersebut tidak mencerminkan rasa cinta dan bangga terhadap budaya sendiri.
Globalisasi budaya yang begitu pesat harus diantisipasi dengan memperkuat identitas kebudayaan nasional. Berbagai kesenian tradisional yang sesungguhnya menjadi aset kekayaan kebudayaan nasional jangan sampai hanya menjadi alat atau slogan para pemegang kebijaksaan, Khususnya pemerintah dalam rangka keprluan turisme, politik, dsb. Selama ini pembinaan dan pengembangan kesenian tradisional yang dilakukan lembaga pemerintah masih sebatas unsur formalitas belaka, tanpa menyentuh esensi kehidupan kesenian yang bersangkutan. Akibatnya, kesenian radisional tersebut bukannya berkembang dan lestari, namun justru semakin dijauhi masyarakat.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi kesenian tradisional cukup berat. Karena pada era teknologi dan komunikas yang modern dan canggih ini masyarakat dihadapkan pada banyaknya alternatif pilihan, baik dalam menentukan kualitas maupun selera. Untuk menghadapi hal-hal tersebut ada beberapa alternatif cara mengatasinya, yaitu meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) bagi para seniman rakyat. Selain itu, mengembalikan peran aparat pemerintah sebagai pengayom dan pelindung, dan bukan sebaliknya yang justru menghancurkannya demi kekuasaan dan pembangunan yang berorientasi pada dana-dana untuk pembangunan dalam bidang ekonomi saja.
DAFTAR PUSTAKA
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa : Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Komentar
Posting Komentar