STRATEGI PEMBERDAYAAN KOMUNITAS DITENGAH PENGARUH GLOBALSASI



1)      Pandangan tentang pemberdayaan masyarakat (Ife, 1996: 59)


a.       Struktural
Strukturalisme adalah pendekatan yang melihat berbagai gejala budaya dan alamiah sebagai sebuah struktur yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berkaitan dalam satu kesatuan (Piaget). Bagi kaum strukturalis, praktik sosial yang tampak tidak beraturan di permukaan ini sebenarnya selalu didasari oleh struktur dalam atau fundamental yang biasanya tak nampak yang beroperasi di bawah kesadaran manusia. Oleh karena itu, strukturalisme juga mengandaikan individu atau subjek pelaku yang tidak bebas karena ditentukan oleh struktur tersebut dalam praktik sosialnya.

Michel Foucault dan Strukturalisme, Foucault menolak dirinya dimasukkan dalam jajaran pemikir strukturalis, tetapi beberapa karyanya lahir di tengah-tengah masa jaya strukturalisme dan di dalamnya dapat ditemukan kemiripan pemikiran dengan tokoh-tokoh strukturalisme lainnya. Harus diakui bahwa pemikiran Foucault berkembang dan mengalami perubahan, namun tetap saja strukturalisme masih membayanginya.

Karya Foucault yang sangat dekat dengan strukturalisme adalah Les mots et les choses (1966) dan L’archeologie du savoir (1969). Melalui karyanya tersebut Foucault dianggap mampu menjadikan strukturalisme sebagai filosofi baru bagi para intelektual Paris saat itu, menggantikan eksistensialisme yang mulai surut. Filosofi baru dalam karya Foucault ini dengan jelas menyetujui pernyataan bahwa subjek tidak memaknai dunia melalui kebebasannya yang penuh dengan kecemasan seperti pemikiran kaum eksistensialis, tetapi subjek ditentukan oleh struktur dalam yang ada di balik kesadaran manusia.

Épistémè sebagai struktur, dalam Les mots et les choses (1966) Foucault melahirkan istilah épistémè yang secara sederhana dapat diartikan sebagai keseluruhan ruang bermakna, stratigrafi yang mendasari kehidupan intelektual, serta kumpulan prapengandaian pemikiran suatu jaman. Bambang Sugiharto menyebut épistémè sebagai struktur kognitif fundamental yang mendasari keseluruhan pola berpikir masyarakat di suatu jaman.2 Beberapa kritikus lain menyebutkan bahwa épistémè bisa disejajarkan dengan paradigma menurut pandangan Thomas Kuhn.

Sebagai sebuah struktur, épistémè dapat dikenali dari salah satu sifat struktur yang disepakati oleh para pemikir strukturalis, yaitu totalitas. Dalam bukunya L’archeologie du savoir (1969) Foucault menjelaskan épistémè sebagai sebuah totalitas yang menyatukan, dalam arti mengendalikan cara kita memandang dan memahami realitas tanpa kita sadari. Épistémè hanya berlaku pada suatu zaman.

Wacana menurut Foucault berkaitan erat dengan konsep kekuasaan. Konsep kekuasaan Foucault berbeda dengan konsep kekuasaan yang telah ada sebelumnya. Kekuasaan bukanlah struktur politis seperti pemerintah atau kelompok-kelompok sosial yang dominan. Kekuasaan bukanlah raja yang absolut atau tuan tanah yang tiranik.

Foucault mendefinisikan kembali kekuasaan dengan menunjukkan ciri-cirinya, bahwa kekuasaan itu tersebar, tidak dapat dilokalisasi, merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatan-kegiatan, tidak represif tetapi produktif, serta melekat pada kehendak untuk mengetahui. Ciri-ciri tersebut memang tidak menjelaskan “apa itu kekuasaan?”, tetapi Foucault lebih tertarik untuk melihat bagaimana kekuasaan dipraktikkan, diterima, dan dilihat sebagai kebenaran dan juga kekuasaan yang berfungsi dalam bidang-bidang tertentu. Kekuasaan Foucault bukanlah milik tetapi strategi, Foucault tidak memisahkan antara pengetahuan dan kekuasaan. Tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan tidak ada kekuasaan tanpa pengetahuan.

Kekuasaan simbolik memiliki legitimasi untuk menentukan yang benar dan yang salah, yang tabu dan yang pantas, yang gila dan yang normal. Menurut Foucault, dunia intelektual sebenarnya bukanlah ruang ilmiah yang bertujuan utama pada pengembangan ilmu pengetahuan tetapi dunia ilmiah adalah dunia pertarungan wacana alias pertarungan kebenaran.

Struktur sangat berperan penting dalam menentukan praktik sosial individu. Ini memang sejalan dengan konsep strukturalisme . Namun, menyeluruh tidak berarti harus universal, karena épistémè dan kekuasaan juga mengambil bentuk-bentuk partikular, bekerja di tingkat mikro, seperti sekolah, penjara, rumah sakit, agama, atau institusi-institusi yang berperan dalam pembentukan individu-individu yang patuh. Hal inilah yang memperlihatkan ide-ide post strukturalis Foucault yang mengarah pada postmodernisme.

b.      Pluralisme
Pluralisme berasal dari kata plural dan isme, plural yang berarti banyak (jamak), sedangkan isme berarti paham. Jadi pluralism adalah suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi.Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat pluralis. Menurut Nurcholish Madjid, Indonesia adalah salah satu bangsa yang paling pluralis di dunia (Woorward, 1998: 91). Indonesia terdiri atas berbagai macam suku, agama, dan ras yang secara keseluruhan membentuk tatanan kebudayaan nasional bangsa, yaitu kebudayaan Indonesia. Pluralisme dalam masyarakat Indonesia merupakan sebuah kekayaan budaya bangsa yang sangat tinggi nilainya. Tetapi, ada sebuah ekses yang muncul dalam masyarakat yang sifatnya plural, yaitu seringkali tumbuh perbedaan-perbedaan yang memunculkan potensi-potensi ke arah konflik.

Perlu dipahami bahwa pluralisme adalah hukum sejarah, maka perlu dipahami bahwa pluralisme itu bukanlah sebuah keunikan dalam masyarakat atau karakteristik yang lain dari sebuah budaya tertentu. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya dalam sebuah struktur yang benar-benar tunggal tanpa adanya unsur-unsur lain di dalamnya (Sudarto, 1999: 2). Apalagi pada tahun 1980-an di mana dunia mengalami suatu masa yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu hancurnya batas-batas budaya, rasial, bahasa dan geografis. Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia tidak lagi terkotak-kotak dalam dua kutub perbedaan Barat dan Timur (Coward, 1989: 5). Oleh sebab itu pluralisme perlu dipahami bukan hanya sebagai kebaikan negatif yang menyingkirkan paham fanatisme golongan, namun essensi dari pluralisme adalah dipahami sebagai kekuatan yang bisa menyatukan komponen masyarakat dalam ikatan pertalian sejati kebhinekaan yang membangun ikatan keadaban (Amidhan, 2000: 29).

Masyarakat Indonesia adalah sketsa masyarakat yang plural, karena di dalamnya terdapat bermacam suku, agama, budaya dan ras. Pada tradisi kehidupan beragam di Indonesia sering terjadi ambiguitas dalam perkembangannya. Hal ini terkait dengan masalah-masalah keagamaan yang berujung pada peristiwa-peristiwa konflik yang di luar nalar ataupun ajaran agama yang mengajarkan tentang cinta damai.

Pluralisme secara literal dapat diartikan sebagai paham kemajemukan, baik dalam agama, etnis, suku, maupun budaya. Namun, karena di Indonesia sering terjadinya konflik sosial yang dipicu oleh isu agama, wacana pluralisme juga sering lebih ditekankan pada masalah pluralisme agama. Di era demokrasi dan globalisasi, pluralisme kemudian menjadi isu yang sangat penting dan gencar disosialisasikan. Hal ini dilakukan dengan harapan ketika semangat pluralisme dalam beragama dipahami dengan baik, ketegangan dan konflik yang disebabkan oleh isu agama dapat diredam, atau paling tidak makin berkurang. (Setiawan, 2010: 8).

Prinsip-prinsip pluralisme dianggap dapat menjawab permasalahan dalam melawan keterasingan jiwa masyarakat modern karena tekanan kapitalisme. Dengan demikian, ide pluralisme berkembang seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Berangkat dari pemikiran tersebut, dapat dipahami bahwa pluralism merupakan suatu pandangan yang meyakini akan banyak dan beragamnya hakikat realitas kehidupan, termasuk realitas keberagaman manusia. Sehingga pluralisme agama dapat diartikan sebagai sikap dan pandangan bahwa hakikat agama di dunia ini tidak hanya satu, tetapi banyak atau beragam.c.       ElitVilfredo Pareto (1848 - 1923) menggunakan kata elit untuk menjelaskan adanya ketidaksetaraan kualitas individu dalam setiap lingkup kehidupan sosial (T.B. Bottomore, 1996). Pareto percaya bahwa dalam setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan bagi kehidupan mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh. Mereka yang bisa menjangkau pusat kekuasaan adalah selalu merupakan terbaik. Merekalah yang dikenal sebagai elit. Elit merupakan orang - orang yang berhasil menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Lebih jauh, Paretto dalam Bottomore (1996) membagi kelas elit kedalam dua kelas yaitu pertama, elit yang memerintah (governing elite) yang terdiri dari individu - individu yang secara langsung dan tidak langsung memainkan peranan yang besar dalam pemerintahan. Kedua, elit yang tidak memerintah (non - governing elite). Jadi menurutnya, dalam lapisan masyarakat memiliki dua lapisan, lapisan yang rendah dan lapisan yang tinggi yang dibagi menjadi dua, elit yang memerintah dan elit yang tidak memerintah.
Tak jauh berbeda dengan Pareto, Gaetano Mosca (1858 - 1941) memberikan gagasan tentang elit bahwa dalam semua masyarakat selalu muncul dua kelas, yaitu kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas yang menguasai jumlahnya lebih sedikit, melaksanakan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati keistimewahan. Sedangkan kelas yang dikuasai jumlahnya lebih banyak, diperintah, dan dikendalikan oleh kelas yang memerintah dengan cara yang masa kini kurang lebih legal diktatorial dan kejam (T.B.Battomore, 1996). Mosca percaya bahwa yang membedakan karakteristik elit adalah kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik, sekali kelas yang memrintah tersebut hilang kepercayaan dan orang – orang yang diluar kelas tersebut menunjukkan kecakapan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh penguasa yang baru. Kemudian, Bottomore (1996) menegaskan baik Preto, maupun Mosca, keduanya memusatkan kajiannya pada elit dalam artian kelompok orang yang secara langsung menggunakan atau berada dalam posisi memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap penggunaan kekuatan politik.

Skema konseptual yang telah diwariskan oleh Pareto dan Mosca mencakup gagasan – gagasan umum bahwa setiap masyarakat ada dan harus ada suatu minoritas yang menguasai anggota masyarakat lain. Minoritas itu adalah adalah kelas politik atau elit yang memerintah yang terdiri dari mereka yang menduduki jabatan - jabatan komando politik dan secara lebih tersamar, mereka yang dapat langsung mempengaruhi keputusan - keputusan politik. Dalam perspektif Pareto maupun Mosca, elit menunjuk kepada sesuatu yang memerintah menjalankan fungsi – fungsi sosial yang penting, dan mewakili dari sebagian dari nilai – nilai sentral masyarakat. (Yusron,2009)

d.      Post-Strukturalisme
Bila strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka Jacques Derrida, tokoh utama pendekatan post-strukturalisme melihat bahasa tak teratur dan tak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya sekedar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, dia juga melihat bahwa lembaga sosial tak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tak mampu memaksa orang. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang, yang menurut pandangan teoritisi strukturalis justru memaksa. Karena itu menurut Derrida mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya).Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasanan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selelu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.

Michael Foucoult adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli teori post-strukturalisme. Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori post-strukturalime untuk menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefinisikan tubuh dengan karakter ilmiah, universal, yang tergantung pada waktu dan tempat. Bahwa ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan perempuan) bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda. Sebagai seorang post-strukturalis Foucoult tertarik pada cara dimana berbagai bentuk ilmu pengetahuan menghasilkan cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang paling signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis (Marx),  atau suatu bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional (Weber), melainkan cara dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul yang dapat mendefinisikan kehidupan modern.

Salah satu karya Foucoult adalah Archeology of Knowledge yang merupakan tujuan dari studinya mencari struktur pengetahuan, ide-ide dan modus dari diskursus atau wacana. Ia mempertentangkan arekeologinya itu dengan sejarah atau sejarah ide-ide. Dalam karyanya itu, Foucoult juga ingin mempelajari pernyataan-pernyataan baik lisan maupun tertulis sehinga ia dapat menemukan kondisi dasar yang memungkinkan sebuah diskursus atau wacana bisa berlangsung. Konsep kunci dari Foucoult adalah arkeologi, geneologi dan kekuasaan. Bila arkeologi memfokuskan pada kondisi historis yang ada, sementara geneologi lebih mempermasalahkan tentang proses historis yang merupakan proses tentang jaringan jaringan diskursus.

Hubungan secara konseptual antara Strukturalis dan Pos-strukturalis. Berdasarkan namanya, post-strukturalisme dibangun diatas gagasan strukturalisme, namun bergerak keluar dan menciptakan mode berpikirnya sendiri. Strukturalisme dipengaruhi oleh ilmu bahasa, bahwa bahasa sebagai simbol dapat menciptakan makna yang berlaku secara universal, sedangkan pos-strukturalisme tidak melihat adanya kestabilan dan universalitas makna dalam bahasa. Bahkan Derrida berupaya untuk melakukan “dekonstruksi logosentrisme”. Dia ingin melihat masyarakat terbebas dari gagasan semua penguasa intelektual yang telah menciptakan pemikiran dominan. Sedangkan Foucoult mengemukakan pandangannya tentang pengetahuan/kekuasaan. Pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Bahwa orang yang memiliki pengetahuan maka dia yang akan berkuasa.

Kenyataan empiris yang terjadi saat ini, dapat diambil contoh penggunaan kartu kredit sebagai sarana untuk pembayaran dan pembelian suatu produk barang atau jasa. Pendekatan Strukturalis melihat bahwa ada pemaknaan bahasa dalam kartu kredit yang dikeluarkan oleh sistem perbankan dan berlaku universal. Pemohon kartu kredit harus memiliki persyaratan tertentu untuk mendapatkannya. Simbol yang ada di kartu dimaknai bersama, baik oleh pembeli maupun penjual, bahwa penggunaannya hanya dengan “menggesekkan” kartu ke alat terentu dan bank akan mengeluarkan kredit pinjaman kepada pemegang kartu. Kata-kata dalam bahasa “tinggal gesek” dimaknai secara strukturalis sebagai alat kemudahan membayar. Post-strukturalis melihatnya bahwa kartu kredit tersebut kurang atau tidak bermanfaat, simbol kartu yang dimaknai sebagai alat tukar bergengsi justru dimaknai oleh post-strukturalis sebagai penciptaan masalah baru. Ada unsur ketidakstabilan. Makna “kewajiban” membayar berbeda pemaknaannya oleh pemakai kartu, karena ketidakmapunannya untuk membayar atau karena ketidakdisiplinannya dalam membayar cicilan. Bila kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang kartu kredit untuk melunasi atau mencicil hutang tidak dijalankan, maka ada sanksi tertentu terhadap pemegang kartu, baik denda maupun sanksi hukum, bila tidak sanggup membayar. Bila dilihat dari sudut pandang  pengetahuan/kekuasaan, maka orang-orang yang mengetahui kebaikan dan keburukan kartu, tentu akan “menguasai” kartu tersebut, dalam arti dapat memanfaatkan sebaik-baiknya. Dia akan mempelajari, berapa beban bunganya dalam sebulan atau setahun, berapa biaya adiministrasinya, berapa dendanya bila terlambat, berapa iuran anggotanya pertahun, dan setiap tanggal berapa dia harus membayar tagihan serta berapa yang harus dibayar. Pengetahuan ini yang menurut pandangan Foucoult berkaitan dengan kekuasaan. Bila nasabah/pemegang kartu  memiliki pengetahuan, maka dia akan berkuasa (kartu tersebut bermanfaat) namun bila tidak, maka pihak bank yang akan berkuasa (beruntung).Sumber:

Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 2000
Haryatmoko, “Kekuasaan melahirkan Antikekuasaan. Menelanjangi Mekanisme dan Teknik
Kekuasaan Bersama Foucault” dalam BASIS nomor 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.
x


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENTUK KEARIFAN LOKAL

POTENSI KEARIFAN LOKAL DI INDONESIA

BENTUK PERUBAHAN SOSIAL BERDASAR PROSES DAN SIFAT

Pengaruh gobalisasi terhadap kearifan lokal di Indonesia

FAKTOR PERUBAHAN SOSIAL

PENGERTIAN, CIRI-CIRI, DAN FUNGSI KARIFAN LOKAL

BATASAN PERUBAHAN SOSIAL

Berbagai Kearifan Lokal di Indonesia dan Pengaruh Globalisasi, Arus Informasi, dan Teknologi dalam Keragaman